Kamis, 28 Juni 2012

Qawa'id Fiqhiyah

BAB I QAIDAH FIQH A. PENGERTIAN Qawaid al-Fiqhiyah berasal dari rangkaian lafadz Qawa'id dan Fiqhiyah. Al-Qawa'id merupakan bentuk jama' dari kata qaidah (kaidah). Secara etimologi, arti qaidah adalah al-asas, yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya). Seperti yang digunakan di dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 124 dan surat an-Nahl ayat 26 : وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Baqarah :127) قَدْ مَكَرَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَأَتَى اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِدِ فَخَرَّ عَلَيْهِمُ السَّقْفُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَأَتَاهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لا يَشْعُرُونَ "Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah Mengadakan makar, Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari."(QS.an-Nahl : 26) B.SEJARAH ILMU QAIDAH FIQHIYAH. Sejarah perkembangan qaidah fiqh dibagi menjadi 3 fase : 1. Fase Pertama Fase kemunculan dan berdirinya qaidah fiqh, dimulai dari zaman Rasulullah hingga akhir abad III H./IX M. Jika qaidah fiqh didefinisikan sebagai suatu ketentuan hukum yang dapat mencakup masalah furu', maka hadis yang dapat dikategorikan sebagai qaidah fiqih, seperti : مَااَسْكَرَكَثِيْرْهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ "sesuatu yang banyaknya memabikan, maka yang sedikitnya juga haram" 2. Fase Kedua (Masa Perkembangan dan Pembukuan Qaidah Fiqih) Pada masa Turki Utsmani atau abad 13 H./19 H. Pada masa ini kitab fiqih sangat banyak. Masing-masing madzhab memiliki kitab pegangan tertentu. Keadaan ini menyebabkan para ulama' tidak melakukan ijtihad mutlak. Mereka lebih tertarik untuk membuat kaidah-kaidah ushul; atau menulis ushul fiqh, termasuk merumuskan qaidah fiqh. Pada masa ini para fuqaha' mulai menyusun fiqih dalam bentuk baru; kini tulisan mereka terangkum dalam tema-tema semisal Al-Qawaid wa Ad-Dawabith, Al-Furuq, Al-Asbah wa An-Nazhair. Penulisan qaidah fiqh pada masa ini dimulai oleh Al-Karakhi dan Ad-Dabusi dari kalangan ulama' Hanafiyah. Umumnya para ulama' menulis qaidah fiqih dengan cara mengutip dan menghimpun qaidah-qaidah yang terdapat pada kitab fiqih masing-masing madzhab. Selain itu, mereka pun melakukannya dengan jalan mencantumkan qaidah-qaidah fiqih dalam kitab fiqih, yaitu mencari illat dan men-tahrij suatu pendapat,seperti contoh : اِنَّ ا لمَقْدُوْرَعَلَيْهِ لَايَسْقُطُ بِالْمَعْجُوْزُعَنْهُ "Sesuatu yang bisa dilakukan tidak bisa gugur karena ada yang tidak dapat dilakukan." اَلْمَيْسُوْرُلَايَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ "Sesuatu yang mudah dilakukan tidak gugur dengan adanya yang sulit dilakukan "3. Fase Ketiga (Fase Kemajuan dan Sistematisasi Qaidah Fiqih) Dimulai dengan lahirnya Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah di masa Turki Usmani. Pada dasarnya kompilasi ini merupakan hasil paraa usaha para ulama' Turki di zaman Sultan 'Abd Al-Aziz Khan Al-Utsmani, yang ditetapkan pada 26 Sya'ban 1292 H./28 September 1875 M. Kitab tersebut disusun dengan bahasa perundang-undangan, namun tidak semua pasal berupa qaidah fiqih, tetapi terdapat pula qaidah ushul. Di antara qaidah ushul adalah : 1. Pasal 12 اَلْاَصْلُ فِي اَلْكَلاَمِ اَلْحَقِيْقَةُ "Ashal suatu perktaan adalah makna hakikat. " 2. Pasal 13 لاَ اِبْرَةَ لِلدِّلَالَةِ فِي مُقَابَلَةِ التَّصْرِيْحِ "Petunjuk lafazh tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna ekplisit. " 3. Pasal 14 لاَ مَسَاغَ لِلإِجْتِهَادِ فِي مُوْرِدِ النَّصِ "Tidak denarkan berijtihad ketika ada nash (qath'i)." C.DASAR PENGAMNBILAN QAIDAH FIQHIYAH. Maksudnya adalah sumber-sumber perumusan kaidah-kaidah fiqhiyah, yaitu meliputi dasar formil dan materialnya formil. Dasar formil maksudnya adalah dasar-dasar yang digunakan para ulama' dalam perumusan qaidah fiqhiyah. اَلْأُمُوْرْبِمَقَاصِدِهَا " setiap perkara tergantung maksud yang mengerjakan." Sedangkan dasar kedua adalah berupa dasar material yaitu dari qaidah fiqhiyah itu dirumuskan. Apakah semata-mata merupakan hasil pemikiran dari para lama' atau mengambil dari ayat atau sunnah kemudian diformulasikan dengan kata-kata yang berbeda. لَاضَرَرَوَلَاضِرَارَ "tidak boleh membuat kemadlaratn dan tidak boleh membalas dengan kemadlaratan." (HR. Ibnu Majah dan ad-Daruquthny). Kaidah ini berasal dari Nash Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwatha', dari Amr bin Yahya dari Ayahnya. Walaupun tergolonh hadits mursal, tetapi hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan ad-Daruquthni dari Abu Sa'id al-Khudry. Lafadzny ajuga ditahrij oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan 'Ubadah bin Ash-Shamid. Begitu juga qaidah ini merupakan pokok dalam Syari'ah Islamiyah, dimana pun setiap fuqaha' yang akan mengistinbathkan suatu hukum harus berpegang pada kaidah ini, karena ia merupakan dasar untuk menghilangkan kerusakan dan menarik kemaslahatan D.PROSES PEMBENTUKAN QAIDAH FIQIH Keterangan : 1. sumber hukum islam: Al-qur'an dan Al- Hadis. 2. ushul fiqh sebagai metodologi dalam istinbath al-ahkam. 3. fiqih yang memiliki banyak materi. 4. kumpulan dari masalah-masalah yang serupa sehingga disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fiqih, kemudian dikritisi kembali. 5. dianggap telah sempurna ketika sesuai dengan ayat Al-Qur'an dan Hadis. 6. digunakan untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat. Dengan demikian prosesmulai bermunculan kitab-kitab qaidah-qaidah fiqiih diberbagai madzhab di dalam Islam. Olek karena itu fiqih tumbuh lebih dahulu daripada qaidah-qaidah fiqih, maka sering kita temukan kaidah-kaidah itu ada di dalam kitab fiqih ulama' tersebut. Misalnya, Ibnu Qayyim al-Jaiziyah murid dari Ibnu Taimiyah dalam kitab fiqihnya "I'lam l-Muwaqi'in'an Rabb al-'Alamin", memunculkan qaidah : تَغَيَّرُالفَتْوَى وَاخْتِلَافُهَابِحَسْبِ تَغَيُّرِ الأَزْمِنَةِ وَالأَمْكِنَةِ وَالْأَحْوَالِ وَالنِّيَاتِ وَالْعَوَائِدِِ "Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat, keadaan,niat, dan adat kebiasaan." E. KITAB-KITAB QAIDAH FIQIH 1. Kitab-kitab qaidah fiqih Mazhab Hanafi o Ushul al-Kharqi (260-340) lebih dikenal dengan Abu Hasan al-Kharqi memuat 37 qaidah. o Ta'sis al-Nazhr, karangan Abu Zahid al-Dabusi (w.430 H), 86 qaidah. o Al-Asybah wa al-Nazhai, karangan Ibnu Nuzaimh (w.970 H), 25 qaidah. o Majami al-Haqaiq, karangan Abi said al-Khadimi, memuat154 qaidah o Majalah al-Ahkam al-Adliyah,disusun ulama' terkemuka Turki yang diketuai Ahmad Udat Basya, memuat 99 qaidah fiqih dibidan mu'amalah dengan 1851 pasal, dll. 2. Kitab-kitab qaidah fiqih Mazhab Maliki o Al-Qawaid, karangan Al-Qurafi (w.758 H), kurang dari 100 qaidah. o Al-Furuq, karangan al-Qurafi (w.684 H), memuat tidak kurang dari 548 qaidah o Idhah al-Masalik ila Qawa'id al-Imam Malik, karangan al-Winsyarisi (w. 914 H) mengandung 118 qaidah, dll. 3. Kitab-kitab qaidah fiqih Mazhab al-Syafi'i. o Qawa'id al-Ahkam fi Masyalih al-Anam,karangan Izzudin bin Abd Salam (577-660 H). o Al-Asyibah wa al-Nazhair(w.716 H), karangan Ibnu al-Wakil. o Zhair, karangan Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawaid al-Mazhab, karangan Abu Sa'id al-Ala'I (w.761 H). o Al-Asyibah wa al-Nazhair, karangan Imam al-Syuyuthi (w.911 H). o Al-Asyibah wa al-Nazhair, karangan Taj al-Din Ibnu al-Subki (w.771 H), dll. 4. Kitab-kitab qaidah fiqih Mazhab Hanbali. o Al-Qawaid al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, karangan IbnuYaimiyah (661-728 H). o Al-Qawaid al-Fiqhiyah, karangan Ibnu Qadhi al-Jabal (w.771 H) o Al-Qawaid al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah, karangan IbnuAbd al-Hadi (w.909 H) o Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, karangan Ibnu Rajab al-Rahman bin Syihab bin Ahmad bin Abi Ahmad Rajab, memuat 160 qaidah. F.Kaidah Fiqih Yang Bersifat Induk Kaidah fiqih yang bersifat induk ada lima, diantaranya yaitu : 1. Kaidah Pertama Kaidah ini menjelaskan tentang segala sesuatu itu tergantung pada niat, baik berwuud pekataan baik perbuatan. *) أْلأمُوْرُبِمَقَصِدِهَا “Segala sesuatu (perbuatan) tergantung pada tujuannya” Yang menjadi dasar dari kaidah ini ialah firman-firman Allah dan hadits-hadits Nabi, diantaranya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.(Al Bayinah:5) اِنَّمَاالْاَعْمَالُ بِالنِّيِّاتِ وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى . (اخرجه الخمةعنه عمرابن الخطاب) “Sesungguhnya segala amal hanyalah menurut niatnya, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang diniatkannya”. ex : ketika ada saudara kita yang meninggal mengcapkan “innalillahi wainnailaihi roji’un”. Imam Ahmad sependapat dengan Imam Syafi’i, bahwa hadits niat termasuk menjadi tempat kembalinya seluruh hukum-hukum agama, salah satunya : مَنْ اَحْدَثَ فِيْ اَمْرِنَاهَذَامَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَرَدٌّ . (متفق عليه) “Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan agamaku ini dengan sesuatu yang tidak berasal/beradasar dari agama, maka tertolak”. Adapun pengertian dari kaidah diatas ialah bahwa setiap amal perbuatan, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dengan sesama makhluk, nilainya ditentukan oleh niat serta tujuan dilakukannya. Niat, disamping sebagai alat penilai perbuatan, juga dapat merupakan ibadah tersendiri seperti yang dapat dipahami dari hadits Nabi : نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرًمِنْ عَمَلِهِ . (رواه الطبرانى عن سهلبن سعد) “Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya (tanpa niat)”. 2. Kaidah Kedua Kaidah ini menjelaskan tentang keyakinan dan keraguan. *) الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّكِّ “Yang sudah diyakini tidak dapat dihapus oleh keraguan-keraguan”. Dasar pengambilan kaidah : إِّذَاوَجَدَاَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْأًفَأَشْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَئٌ اَمْ لَافَلَايَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِحَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًااَوْيَجِدَريْحًا .(رواه مسلم عنه ابى هريرة) “apabila seseorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan bau (memperoleh bukti tentang telah batalnya wudlu)”. اِذَا شَكَّ اَحَدُكُمْ فِى صَلَاتِهِ فَلَمْ يّدْرِكَمْ صَلَّى أَثَلَاثًااَمْ اَربَعًافَلْيَطْرَحِ الشَّك وَلْيَبْنِ علَى مَااسْتَيْقَنَ .(رواه الترمذى عنه عبدالرحمه) “Apabila seseorang dari pada kamu ragu-ragu didalam shalatnya, tidak tahu sudah berapa raka’at yang telah dikerjakan tiga raka’atkah atau empat raka’at, maka buangkan keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang meyakinkan”. Jadi maksud kaidah diatas ialah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan tidak dapat digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang meragukan itu meningkat menjadi meyakinkan. Jadi semua tindakan harus berlandaskan pada yang diyakini. ex : Orang yang telah wudlu, kemudian datang keraguan apakah ia telah berhadats, maka dalam hal ini ditetapkan hukum yang telah diyakini, yakni masih ada wudlu dan belum berhadats. 3. Kaidah Ketiga Kaidah ini menjelaskan tentang kesulitan dan kemud`han. (* اْلمَشَقّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ . “Kesukaran itu menarik adanya kemudahan” Dasar kaidah Firman Allah :. "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."(Al-Baqoroh:185). Hadits Nabi : اَلَّدِيْنَ يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ اِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ . (احرجه البخاري عنه أبى هريرة) “Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”. Adapun sebab-sebab keringanan didalam ibadah dan lain-lain adalah : 1) Bepergian, dalam bepergian boleh meng-qoshor dan menjama’ sholat, boleh tidak berpuasa. 2) Sakit, dalam keadaan sakit orang boleh sembahyang dengan duduk atau berbaring, tayamum sbagai ganti berwudlu, tidak berpuasa dan sebagainya. 3) Terpaksa, dalam hal terpaksa orang boleh memakan makanan yang haram, bahkan boleh mengucapkan kata-kata kekafiran atau berbuat perbuatan yang mengkafirkan. "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)."(Al Nahl:106) 4) Lupa, orang bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa ramadhan, atau salam sebelum selesai shalat, kemudian berbicara secara sengaja karena ia menyangka shalatnya sudah selasai, maka tida batal shalatnya. وَضَعَ عَنْ اُمَّتِى اْلخَطَأُوَالْنِسْيَانُ وَمَااسْتُكْرِهُوَاعَلَيْهِ . (اخرجه البيهقى عنه ابن عمر) “Diangkat dari umatku (dosa) karena salah, lupa dan karena terpaksa”. 5) Bodoh, seperti berbicara didalam/ditengah shalat karena tidak mengerti, maka shalatnya tidak batal. 6) Kekurangan, kekurangan adalah salah satu dari kesulitan, karena setiap oran mesti senang pada kesempurnaan. Dan kekurangan menyebabkan keringanan . 7) Kesulitan dan ‘ummul balwa,seperti shalat dengan najis yang sulit dihindari Macam-macam hukum Rukhshah : 1) Rukhshah yang wajib dikerjakan. Contoh : memakan bangkai (hewan yang tidak disembelih menurut syaa’) bagi orang ang sedang terpaksa, sebab bila tidak akan membahayakan keselamatan jiwanya. 2) Rukhshah yang sunnah dikerjakan Contoh : megqoshor shalat dalam bepergian, tidak berpuasa lantaran di dalam bepergian dan melihat wanita yang akan dinikahi. 3) Rukhshah yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan Contoh : transaksi jual beli dengan sistem salam (membayar dulu, barang baru dikirim kemudian sesuai dengan perjanjian). 4) Rukhshah yang lebih baik ditinggalkan Contoh : menjama’ shalat berlaku bagi yang tidak mengalami kesulitan. Tayammum bagi orang yang mendapatkan air karena membeli dengan harga mahal sekalipun mampu membelinya). 5) Rukhshah yang makruh dikerjakan Contoh : mengqoshor shalat dalam jarak temph kurang dari tiga marhalah (kurang lebih 85 km) اِذَاضَاقَ الْاَمْرُاِتَّسَعَ . “Apabila sesuatu yang sempit, maka hukumnya menjadi luas”. 4. Kaidah Keempat Kaidah ini menjelaskan tentang eleminasi kesulitan. (*الضّرَرُ يُزَالُ “Kemadlorotan itu harus dihilangkan”. Arti dari kaidah ini menunjukkan bahwa kemadlorotan itu telah terjadi dan akan terjadi. Apabila demikian halnya wajib untuk dihilangkan. Dasar dari kaidah ini ialah Firman Allah dan Hadits Nabi : وَلَا تُفْسِدُوا فِى الْارْضِ “Dan janganlah kamu sekalian membuat kerusakan dibumi”. اِنَّ اللهَ لَايُحِبُّ المُفْسِدِينَ “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan”. Masalah-masalah hukum fiqih yang tercakup dalam kaidah ini : 1) Di dalam muamalat, mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat diperbolehkan. 2) Pada bagian jinayat, agama menentukan hukuman qishos, hudud, kafarat, mengganti kerusakan, mengangkat para penguasa untuk menumpas pengacau/pemberontak dan menindak para pelaku kriminalitas dan lain-lain. 3) Pada bagian munakahat, islam membolehkan perceraian yaitu di dalam situasi dan kondisi kehidupan rumah tangga yang sudah tidak teratasi. Demikian pula diizinkan fasakh karena aib dan sebagainya. Dasar dari kaidah ini ialah Firman Allah : “tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al Baqoroh:173) Jadi dari kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa dalam keadaan (sangat) terpaksa, maka orang diizinkan melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan menimbulkan suatu kemadlorotan pada dirinya. Contoh : Orang yang sedang mengalami kelaparan. Makanan yang ada hanya bangkai saja. Bangka ini baginya halal dimakan. Di dalam kondisi yang sama karena kahausan orang boleh minum minuman keras, sebab yang ada hanya minuman keras itu saja. Dalam hubunganya dengan kaidah ini, bahwa kebutuhan seseorang itu ada 5 tingkat, yaitu : 1) Tingkat darurat, tidak boleh tidak, seperti orang yang sudah sangat lapar, dia tidak boleh tidak harus memakan apa yang dapat dimakan. Sebab kalau tidak, dia akan mati aau hampir mati. 2) Tngkat hajat, seperti orang yang lapar. Dia harus makan, sebab kalau tidak makan dia akan payah, walaupun tidak membahayakan hidupnya. 3) Tingkat manfaat, seperti kebutuhan makan yang bergizi dan memberikan kekuatan, sehingga dapat hidup wajar. 4) Tingkat zinah, untuk keindahan dan kemewahan hidup, seperti makanan yang lezat, pakaian yang indah, perhiasan dan sebagainya. 5) Tingkat fudlul, berlebih-lebihan, misalnya banyak makan makanan yang syubhat atau haram dan sebagainya. 5. Kaidah Kelima Kaidah ini menjelaskan tentang adat. (* الْعَادَةُ مُحْكَمَةٌ “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”. Dasar kaidahnya adalah hadits mauquf : مَارَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًافَهُوَعِنْدَاللهِ حَسَنٌ (احرجه أحمد عنه ابى مسعود) “Apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka baik pula disisi Allah”. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa dasar kaidah diatas adalah Firman Allah : "suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh".(Al-A’raf: 199) Setelah kaidah dan ayat-ayat dan hadits diatas yang menjadi dasar kaidah, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang ta’rif dari Al-’Adaah dan Al-‘Urf serta hubungannya dengan hadits. Menurut Al-Jurjany : الْعَادَةُ مَا اسْتَمَرَّالنَّاسُ عَلَيْهِ عَلَى حُكْمِ الْمَعْقُوْلِ وَعَادُوااِلَيْهِ مَرَّةً بَعْدَ اُخْرِى “Al-Adaah ialah sesuatau (perbuatan/perkataan)yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulangi terus menerus”. الْعُرْفُ مَااسْتَقَرَّتِ النُّفُوسُ عَلَيْهِ بِسَهَادَةِ اْلعُقُوْلِ وَتَلَقَّتْهُ الطَّبَاِئعُ بِالْعُقُوْلِ.وَهُوَحُجَّةٌ اَيْضًالَكِنَّهُث اَسْرَعُ اِلَى اْلفَهْمِ بَعْدَ اُخْرَى “Al-‘Urf ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang jiwa meras tenang dalam mengerjakannya, karena sejalan dengan akal (sehat) dan diterima oleh tabiat (yang sejahtera)”. Menurut Abdul Wahab Kholaf : “Al-‘Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari : perkataan, pebuatan atau (sesuatu) yang ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan Al-Adaah”. Dan dalam bahasa ahli syara’ tidak ada perbedaan antara Al-‘Urf dengan Al-Adaah. Di antara perbuatan yang hukumnya oleh Rasulallah SAW ditetapkan berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan hadits : “ketika Nabi SAW datang di madinah, merka (penduduk Madinah) telah (biasa) memberi uang panjar(uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun”. “maka nabi bersabda: barangsiapa memberi uang panjar pada buah-buahan, maka berikan uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangkan yang tertentu dan waktu yang tertentu”. Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’ dalam muamalat seperti dalam jual beli dan sebagainya, adalh merupakan suatu hukum. Seandainya sehingga terjadi perselisihan pendapat, maka penyelesaiaanya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau ‘Urf yang berlaku. Demikian juga dalam munakahah seperti tentang banyakya mahar atau nafkah, harus dikembalikan kepada adat yang berlaku. Sedangkan adat kebiasaan yang berlawanan dengan nash syara’ atau bertentangan dengan jiwanya, tentu tidak boleh dianggap/dijadikan dasar hukum. Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha’ mengatakan : كُلُّ مَا وَرَدَبِهِ الشَّرْعِ مُطْلَقًاوَلَآضَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَلَافِى اللّغَةَ يُرْجَعُ فِيْهِ اِلَى الْعُرْفِ “semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahsa, maka dikembalkan kepada ‘Urf”. DAFTAR PUSTAKA Mujid, Abdul. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih. Jakarta: Kalam Mulia, 2001. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiikih, Jakarta : Kencana, 2010 Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV Pustaka Setia, 2010. Musbikin, Imam. Qawa'id al-Fiqhiyah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar