Jumat, 29 Juni 2012

THAHAROH

Mandi (Al-Ghusl) Pengertian : mengalirkan air keseluruh tubuh dengan niat. pengertianp menurut para Imam : Imam Syafi’i : menyiram air atas seluruh badan disertai dengan niat Imam Maliki : sampainya air ke seluruh jasad dengan niat untuk lebih mengafdholkan shalat . firman Allah swt : وانكنتم جنبا فا طهروا... (امائدة:6) "jika kamu dalam keadaan junub,maka hendaklah bersuci" (QS. Al-Maidah: 6) ويسالونك عن المحض قل هوادئ ...(البقرة:222) "mereka bertanya padanu (muhammad) tentang haid.katakanlah bahwa haid itu kotor" (QS. Al-Baqarah: 222) Pertama, Para ulama' sepakat bahwa mandi itu wajib karna telah terjadinya dua hadas. Pertama keluarnya mani / sperma. Mani yang keluar secara normal,baik karena dorongan mompi basah atau dalam keadaan terjagabaik laki-laki maupun perempuan,itu wajib mandi.menurut Nakhai,perempuan yang bermimpi basah itu tidak wajib mandi. Namun menurut ulama' jumhur mimpi basah yang terjadi baik antara laki-laki maupun perempuan itu tidak berbeda. Kedua, Para fuqaha sepakat bahwa wanita yang baru selesai dari haid wajib mandi berdasarkan firman Allah swt (QS.ai-Baqarah : 222) atau hadits nabi yang menjelaskan "pelajaran mandi setelah selesai haid",yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw pada Aisyah,istri-istri beliau,dan wanita yang lain Sebab-sebab wajib mandi Sebab-sebab yang mewajibkan mandi ada 6 sebab: 1.) JIMA' قل رسول الله صلئ عليه وسلم : ادالتقئ الختانان فقدوجب الغسل وان لم ينزل _روه مسلم_ "apabila bertemu dua perjunatan,maka sesungguhnya telah diwajibkan mandi,meskipun tidak keluar mani." Riwayat muslim. 2.) KELUARNYA MANI Baik keluarnya sebab bermimpi atau yang lain nya baik secara disengaja maupun tidak dengan perbuatan sendiri. 3.) MATI Orang muslim yang mati,fardlu kifayah atas muslumin yang hidup memandikannya. 4.) HAID قل رسول الله صلئ عليه وسلم لفاطمة بنت ابئ حبيس : ادااقبلت الحيضة فدعي الصلاة واداادبرت فاغتسلي وصلي _روه البخار_ Beliauu berkata pada fatimah binti Abi Hubais :"Apabila datang haid itu,hendaklah engkau tinggalkan sembahyang dan apabila habis haid itu,hendaklah engkau mandi dan sembahyang." Riwayat Bukhari. 5.) NIFAS Darah yang keluar setelah melahirkan. 6.) MELAHIRKAN Baik anak yang dilahirkan cukup umur maupun tidak. Fardlu mandi : 1.niat menghilangkan najis 2. menyampaikan air keseluruh tubuh Sunat-sunat mandi : 1.membaca basmalah 2.berwudlu sebelum mandi 3.menggosok-gosok seluruh badan 4.mendahulukan yang kanan 5.berturut-turut Macam mandi yang disunatkan : 1.mandi hari jum'at 2.mandi hari raya 3.mandi sehabis memandikan janazah 4.mandi nya orang yang baru masuk islam 5.mandi ketika hendak ihram/haji 6.mandinya orang gila ketika sembuh 7.mandi ketika hendak malakukan shalat istiskoq maupun gerhana 8.mandi ketika akan memasuki kota suci Mekkah 9.ketika hendak wukuf di Arafah 10.ketika hendak mabit di Muzdalifah 11.ketika akan melontar jumro 12.ketika hendak thawaf TAYAMMUM Tayammum menurut (lughah) artinya menyengaja. Menurut istilah menyampaikan debu yang suci ke wajah dan kedua tangan sebagai gantinya wudlu, mandi atau membasuh anggota dan disertai syarat-syarat yang sudah ditentukan Pengertian tayamum menurut para imam madzhab: Menurut Hanafiyah tayamum berati mengusap wajah dan kedua tangan menggunakan debu yang suci dan menyengaja merupakan syarat dari tayamum. Imam Malik bahwa tayamum berarti mensucikan dengan tertib yakni sempurna atas membasuh wajah dengan kedua tangan dan niat. Sedangkan menurut Imam Syafi’i perpendapat bahwa tayamum adalah sampainya debu pada wajah dan kedua tangan sebagai pengganti atas wudlu maupun mandi dengan syarat yang telah ditentukan. Tidak jauh berbeda Imam Hambali berpendapat bahwa yang namanya tayamum adalah membasuh wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci atas wajah yang telah ditentukan . Macam thaharah yang boleh diganti dengan tayammum yaitu bagi orang junub. Hal ni terdapat dalam fiman Allah, yang artinya “... dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). Syarat-syarat Tayammum : 1. Adanya halangan (udzur) sehingg tidak dapat menggunakan air. Udzur tidak menggunakan air itu terjadi dikarenakan sedang perjalanan (safir), sakit, hajat. Ada beberapa kriteria musafir yang diperkenakan bertayammum yaitu : a. Ia yakin bahwa disekitar tempatnya itu benar-benar tidak ada air maka ia boleh langsung bertayammum tanpa mencari air terlebih dahulu. b. Ia tidak yakin, tetapi ia menduga disana mungkin ada air tetapi mungkin juga tidak. Pada keadaan demikian ia wajib lebih dulu mencari air ditempat-tempat yang dianggapnya mungkin terdapat air. c. Ia yakin ada air disekitar tempat itu. Tetapi menimbang situasi pada saat itu empatnya jauh dan dikhawatirkan waktu shalat akan habis dan banyaknya musafir yang berdesakan mengambil air, maka ia diperbolehkan bertayammum. 2. Masuk waktu shalat, maka tidak syah tayammum karena untuk shalat sebelum masuk waktunya. 3. Mencari air setelah masuk waktu shalat. 4. Tidak dapat menggunakan air atau terhalangnya memakai air dikarenakan udzur syar’i seperti takut akat pencuri, binatang buas, atau ketinggalan rombongan. 5. Dengan tanah yang murni (khalis) dan suci. Tayammum hanya sah dengan menggunakan ‘turab’ yaitu tanah yang suci dan berdebu. Bahan-bahan yang lainnya seperti, batu, belerang, atau tanah yang bercampur dengannya, tidak sah dpergunakan untuk bertayammum. Rukun Tayammum : 1. Niat istibaha (membolehkan) shalat atau ibadah lain yang memerlikan thaharah, seperti thawaf, sujud tilawah, dan lain sebagainya. Dalil wajibnya niat disini ialah hadits yang juga dikemukakan sebagai dalil niat pada wudlu. Niat ini serentak dengan pekerjaan pertama tayammum, yaitu ketika memindahkan tanah ke wajah. 2. Mengusap wajah. Sesuai firman Allah dalam surat An-Nisa’ayat 43 yang artinya “... usaplah mukamu an tanganmu, sesungguhnya Allah mha pemaaf lagi maha pengampun”. 3. Mengusap kedua tangan sampai dengan kedua siku-siku dan mengusap keduanya tu dengan dua pukulan. 4. Tertib,yakni mendahulukan wajah daripada tangan. Sunnah Tayammum : 1. Membaca bismillah. 2. Mengusap wajah mulai dari bagian atas wajah. 3. Menipiskan debu ditelapak tangan seblum mengusapkannya. 4. Merenggangkan jari-jari ketika menepukkannya pertama kali ke tanah. 5. Mendahulukan tangan kanan dari tangan kiri. 6. Menyela-nyela jari setelah mengusap kedua tangan. 7. Tidak mengangkat tangan dari anggota yang sedang diusap sebelum selesai mengusapnya. 8. Muwalah Hal-hal yang membatalkan Tayammum : 1. Semua yang membatalkan wudlu. 2. Melihat ada air sebelum melakukan shalat. 3. Murtad, yaitu putus islamnya. WUDLU Menurut lughat ( bahasa ), adalah perbuatan menggunakan air pada anggota tubuh tertentu. Dalam istilah syara’ wudhu’ adalah perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat. Mula-mula wudhu’ itu diwajibkan setiap kali hendak melakukan sholat tetapi kemudian kewajiban itu dikaitkan dengan keadaan berhadats. Dalil-dalil wajib wudhu’: 1. ayat Al-Qur'an surat al-maidah ayat 6 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” 2. Hadits Rasul SAW لا يقبل الله صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ artinya “ Allah tidak menerima shalat seseorang kamu bila Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’ “ ( HR Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmizi ) Dalam wudhu’ terdapat niat. Ada beberapa pendapat mengenainya. Sebagian Ulama amshar berpendapat bahwa niat itu menjadi syarat sahnya wudhu’ , mereka adlah Ima as- syafi’I, Malik, Ahmad, Abu Tsaur, dan Daud. Sedang Fuqoha lainnya berpendapat bahwa niat tidak menjadi syarat ( sahnya wudhu’ ). Mereka adalah abu Hanifah, dan Ats- sauri. Perbedaan mereka karena , perbedaan pandangan mengenai wudhu’ itu sendiri. Yang memang bukan ibadah murni seperti sholat. Hal ini dilakukan demi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Syarat-syarat wudhu : 1. Islam 2. Mumayiz (dapat membedakan baik buruknya sesuatu pekerjaan). 3.Tidak berhadas besar. 4. Dengan air yang suci dan menyucikan. 5. Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit seperti getah dsb yang melekat di atas kulit anggota wudhu. Rukun-rukun wudhu : 1. Meniga kalikan membasuh. 2. Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki. 3. Membaca doa sesudah wudhu. Yang Membatalkan Wudhu : 1. Keluar sesuatu dari qubul atau dubur, berupa apapun , benda padat atau cair, angin. Terkecuali maninya sendiri baik yang biasa maupun tidak, keluar sendirinya atau keluar daripadanya. Dalil yang berkenaan dengan hal in yaitu surat Al- Maidah ayat 6 yang artinya “ … atau keluar dari tempat buang air ( kakus ) … “ 2. Tidur, kecuali duduk dalam keadaan mantap. Tidur merupakan kegiatan yang tidak kita sadari, maka lebih baik berwudhu’ lagi karena dikhawatirkan pada saat tidur ( biasanya ) dari duburnya akan keluar sesuatu tanpa ia sadari. 3. Hilang akal, dengan sebab gila, mabuk, atau lainnya. Batalnya wudhu’ dengan hilangnya akal adalah berdasarkan qiyas kepada tidur, degan kehilangan kesadaran sebagai persamaannya. 4. Bersentuh kulit laki-laki dan perempuan .Firman Allah dalam surat An- nisa ayat 43 yanga artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” Hal tersebut diatasi pada sentuhan : 1. Antara kulit dengan kulit 2. Laki- laki dan perempuan yang telah mencapai usia syahwat 3. Diantara mereka tidak ada hubungan mahram 4. Sentuhan langsung tanpa alas atau penghalang 5. Menyentuh kemaluan manusia dengan perut telapak tangan tanpa alas. Cara Berwudhu : • Membaca basmalah, sambil mencuci kedua belah tangan sampai pergelangan tangan sampai bersih. • Berkumur-kumur tiga kali sambil membersihkan gigi. • Mencuci lubang hidung tiga kali. • Mencuci muka tiga kali. • Mencuci kedua belah tangan hingga siku-siku tiga kali. • Menyapu sebagian rambut kepala tiga kali. • Menyapu kedua belah telinga tiga kali. • Mencuci kedua belah kaki tiga kali sampai mata kaki. Wudhlu adalah membersihkan bebrapa bagian dari beberapa anggota badan, yang dilakukan sebelum melakukan ibadat tertentu, khususnya ibadah shalat. Karena wudhlu merupakan salah satu syarat sah shalat. Adapun urutan yang dibersihkan dalam wudhlu itu adalah sebagi berikut : a. Menggosok gigi atau siwak b. Mencuci kedua telapak tangan c. Berkumur-kumur d. Memasukan air kehidung kemudian mengeluarkannya e. Menyiang-nyiangi jenggot jika berjenggot f. Menyiang-nyiangi anak jari g. Membasuh muka h. Membasuh kedua tangan i. Menyapu kedua telinga j. Membasuh kedua kaki DAFTAR PUSTAKA Rasyid, Sulaiman. 1954. Fiqh Islam. Jakarta: Attahirijah. Sujak, Matan Abu.1978. Tadhib. Damaskus :Darul Imam Al- Bukhari. Rusyd,Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani. Zuhaili, Wahba. 1984. Fiqhul Islam Wa’adilatuhu. Mesir : Darul Fikri.

PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN:

IMAN DAN KUFUR. Persoalan dalam teologi islam mengenai iman dan kufur dimunculkan pertama kali oleh kaum khawarij ketika mengecap kafir beberapa sahabat nabi yang dipandang telah melakukan dosa besar dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir. Pernyataan ini selanjutnya menjadi bahan perbincangan aliran-aliran teologi islam yang tumbuh kemudian, termasuk aliran murji’ah, mu’tazilah, asy’ariyah, dan maturidiyah. A. ALIRAN KHAWARIJ. Pendirian teologis khawarij lebih bertendensi politik daripada ilmiah teoritis. Semua pelaku dosa besar menurut semua subsekte khawarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Iman dalam pandangan khawarij tidak hanya percaya kepada Allah, tetapi juga mengerjakan segala perintah agama. Sehingga siapapun yang percaya akan Allah tanpa melaksanakan perintahNYA dianggap kafir. Substense khawarij yang sangat ekstrim adalah Azariqoh. Mereka menggunakan istilah musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dalam barisan mereka. Sedangkan pelak u dosa besar dalam pandangan mereka berstatus kafir millah (agama). Itu berarti ia telah keluar dari islam dan akan kekal di neraka. Subsekte Najdah tidak jauh berbeda dengan Azariqoh. Ia memberikan predikat musyrik pada umat islam yang melekukan dosa kecil secara berkesinambungan. Akan halnya dengan dosa besar. Bila tidak dilakukan secara terus menerus maka pelakunya tidak dipandang musyrik. Lain dengan subsekte khawarij yang moderat yakni Ibadiyah. Ia memandang bahwa setiap pelaku dosa besar tetap muwahhid tetapi bukan mukmin. Ia dianggap kafir nikmat tetapi bukan kafir millah dan mereka akan kekal di dalam neraka. B. ALIRAN MURJI’AH. Harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan murji’ah menjadi dua kelompok besar. Yang pertama murji’ah ekstrim. Di antara kalangan yang berpendapat senada adalah subsekte Al-jahmiyah, As-salihiyah, dan Al-yunusiah. Mereka berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Atau ma’rifah Allah dengan kalbu saja. Oleh karnanya sgala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama sekalipun bertingkah seperti yahudi ataupun nasrani tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahakan masih sempurna dalam pandangan tuhan. Hal ini disebabkan oleh keyakinan mereka bahwa iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman. Kelompok yang kedua adalah Murji’ah moderat. Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir.Ia hanya disiksa di neraka dan tidak kekal di dalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya. Dan lagi masih terbuka kemungkinan akan ampunan tuhan sehingga ia terlepas dari siksaan neraka. Ciri khas mereka adalah memasukkan iqrar sebagai bagian penting dari iman. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin, kalaupun mereka masuk neraka oleh kehendak tuhan, mereka tidak kekal di dalamnya. Sehingga kelompok ini menganggap bahwa iman adalah iqrar dan tashdiq.

PEMBUKUAN HADIST

1. Abad kedua Hijriyah Proses pembukuan hadits secara resmi dilakukan atas intruksi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan pada akhir abad pertama, yakni tahun 99 Hijriah. Beliau terkenal sebagai seorang khalifah yang adil dan wara’ sehingga dipandang sebagai khalifah rasyidin yang kelima. Beliau sangat waspada dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadits dari para perawinya, mungkin hadits itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafalnya. Tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadits-hadits nabi dari para penghafal yang masih hidup. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada gubernur madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm sebagai berikut: “ Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadits rasul lalu tulislah. Karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan menninggalnya ulama, dan jangan diterima selain hadits rasul SAW. Dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesuungguhnya ilmu itu dirahasiakan.” Khalifah mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Sa’d bin Zaharah al anshariyah dan al Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr al Shiddiq. Pengumpulan al hadits khususnya di madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm. Dan akhirnya usaha ini dilanjutkan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al Zuhri yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana hadits yang paling menonjol di zamannya. Atas dasar inilah khalifah Umar bin Abdul Aziz secara khusus menulis surat kepada ibnu Syihab agar mengusahakan pembukuan hadits. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan khalifah sehingga menjadi salahsatu ulama’ yang pertama kali membbukukan hadits. Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagaimana kitab-kitab hadits yang ada saat ini tetapi sekedar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami’ dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifkasinya hadits atas dasar shahih dan tidaknya. Karenanya dilakukan usaha penyeleksian hadits-hadits yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad, yakni metode yang digunakan untuk menguji sumber pembawa berita hadits (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan dimana hidupnya, kawan semasanya, daya tangkap dan ingatannya, dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam Dirayah yang terkenal dengan ilmu Mustalahul Hadis. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-haditts shahih saja. Kitab-kitab hadits yang masyhur di masa iti adalah: 1) Mushannaf oleh Syu’bah bin al-Hajjaj (160 H) 2) Mushannaf oleh Al-Laits bin Sa’ad (175-H) 3) Al-Muwattha’ oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul Hijrah (179 H) 4) Mushannaf oleh Sufyan bin Uyainah.(198-H) 5) Al-Musnad oleh As-Syafi’I (204-H) 6) Jami’ Al-Imam oleh Abdurrazzaq bin Hammam As-Shan’ani (211-H) Setelah generasi Az-Zuhri, Pembukuan hadits dilanjutkan oleh Ibn Juraij, Ar-Rabi’ bin Shabih, dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pembukuan hadits dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tapi belum begitu sempurna dan mulai dilakukan penyampurnaan pada pertengahan abad ke-2 H. 2. Abad ketiga H. Dimana pada masa ini tidak ditulis kecuali hadits-hadits nabi SAW saja, sehingga mulai disusun kitab-kitab musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Walaupun demikian, masih tercampur dengan hadits-hadits dha’if bahkan maudhu’, sehingga pada pertengahan abad tiga ini muncul ide-ide untuk mengumpulkan hadits yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya jami’usshahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim).sehingga abad ini merupakan abad keemasan bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits terkemuka dan disusunnya kutubussittah (6 kumpulan hadits) yang memuat seluruh hadits-hadits yang shahih. Diantara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu adalah: 1) Mushannaf Sa’id bin Manshur (227-H) 2) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (235-H) 3) Musnad Imam Ahmad bin Hambal (241-H) 4) Shahih al-Bukhari (251-H) 5) Shahih Muslim (261-H) 6) Sunan Abu Daud (273-H) 7) Sunan Ibnu Majah (273-H) 8) Sunan At-Tirmidzi (279-H) 9) Sunan an-Nasa’I (303-H) 10) Al-Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307-H) 11) Tahdzibul Atsar ibnu Jarir at-Thabari (310-H). Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu Huraij, kitab Muwaththa’ –Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadits, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tdmpat ke tempat lain untuk mencari hadits. Pada awalnya ulama mengumpulkan hadist-hadis yang terdapat di kota masing-masing, hanya sebagian kecil diantara mereka yang pergi kekota lain demi mengumpulkan hadits.Namun keadaan ini diubah oleh Al-Bukhari,Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits dan beliau juga membuat terobosan dengan mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah,selama 6 tahun beliau menjelajah demi menyiapkan kitab Shahih-nya . Mulanya para ulama menerima hedits dari para perawi dan menulisnya ke dalam kitab tanpa mengadakan syarat-syarat dan memperhatikan keshahihan-nya,Namun setelah adanya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq mengacaukan hadits para ulama mulai melakukan hal-hal berikut : a. membahas keadaan rawi dari berbagai segi baik keadilan,tempat,kediaman,masa,dll. b. memisahkan hadits yang shahih dengan yang dha’if dengan men- tashih – kannya Tokoh-tokoh hadits yang lahir masa ini adalah : 1. Ali Ibnul Madani 2. Al-Bukhari 3.Muslim 4. An-Nasa’i 5. Abu Dawud 6. At-Tirmidzi 7. Ibnu Majah,dll 3. Abad ke-IV sampai 656 H Ulama’yang muncuL pada adad ke-2 dan ke-3 digelari Mutaqaddimin,yang mengumpulkan hadits semata-mata berpegangan pada usaha sendiri dengan menemui para penghapalnya yang tersebar disetiap pelosok dan penjuru tanah Arab,Parsi,dan lain-lainnya.Ulama abad ke-4 digelari Mutaakhirin,ciri mereka dalam menyusun karyanya adalah dengan menukil kitab-kitab yang telah disusun oleh salaf, menanmbahkan mengkritik dan men-syarah-nya, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya Kitab hadits yang dihimpun pada periode ini adalah: 1. Al-Shahih oleh Ibnu Khuzaima (313 H ) 2. Al-Anwa wa al-Taqsim oleh Ibnu Hibban (345 H) 3. Al-Musnad oleh Ibnu Awanah (316 H) 4. Al-Muntaqa oleh Ibnu Jarud 5. Al-Mukhtarah oleh Muhammad ibn Abn al-Wahid al-Maqdisi Pada abad kelima terjadi penyusunan kitab hadits dengan mengklasifikasikannya, cara pengumpulannya, kandungannya, dan tema-tema yang sama. Disamping itu juga men-syrah dan meringkas kitab-kitab hadits sebelumnya sehingga muncullah berbagai kitab-kitab hadits hukum seperti : a. Sunanul Kubra, al-Baihaqi (384-458 H) b. Muntaqhal Akhbar, Majduddin al-Harrani (652-H) c. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Ibnu Hajar al-Asqalani (852-H) Keadaan hadits pada pertengahan abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang (masa penyerahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasannya). Periode ini dimulai sejak kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad ditaklukkan oleh tentara Tartar(656H/1258M), yang kemudian kekhalifahan Abbasiyah dihidupkan kembali oleh Dinasti Mamluk dari Mesir setelah mereka berhasil menghancurkan bangsa Mongol tsb. Pembantaian khalifah oleh Dinasti Mamluk hanaylah sekedar simbol agar daerah islam lainnya Pada abad ini pemerintahan islam telah terpecah menjadi kerajaan kecil yang saling menyerang dan menjatuhkan. Sejarah Islam mencatat bahwa kerajaan Islam yang ada pada kurun waktu tahun 3000 sampai 656 Hijruyah adalah : 1. Dinasti Abbasiyah di Baghdad (132-656 H) 2. Dinasti Ummayah di Maroko (138-442 H) 3. Dinasti Idrisiyyah di Maroko 4. Dinasti Dhahiriyah di Tunusia 5. Dinasti Hammadiyah Al-Jazair 6. Dinasti Ikhsidiyyah di Mesir 7. Dinasti Fatimiyah di Mesir 8. Dinasti Ziyadiyah di Zabid Yaman 9. Dinasti Ya'furiyah di Sana' dan Janad 10. Dinasti Hamdaniyyah di Mosul 11. Dinasti Uqalliyah di Mosul 12. Dinasti Marwaniyah di Diyar 13. Dinasti Sajidiyah di Azerbaijan 14. Dinasti Alwiyah di Tabaristan 15. Dinasti Samaniyyah di Tranxosiana d an Persia 16. Dinasti Khan Turkestan 17. Dinasti Ziyariyah di Persia Selatan dan Irak 18. Dinasti Kakwaih Kurdistan Ulama’yang muncuL pada adad ke-2 dan ke-3 digelari Mutaqaddimin,yang mengumpulkan hadits semata-mata berpegangan pada usaha sendiri dengan menemui para penghapalnya yang tersebar disetiap pelosok dan penjuru tanah Arab,Parsi,dan lain-lainnya.Ulama abad ke-4 digelari Mutaakhirin,ciri mereka dalam menyusun karyanya adalah dengan menukil kitab-kitab yang telah disusun oleh salaf, menanmbahkan mengkritik dan men-syarah-nya, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya. Usaha ulama’ hadits yang terpenting dalam periode ini adalah : 1. Mengumpulkan hadist Al-Bukhari/muslim dalam sebuah kitab. 2. Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam. 3. Mengumpulkan hadits yang terdapat dalam berbagai kitab. 4. Mengumpukan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab’Athraf. Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhraj maupun istidrak ,umpamanya mengambil suatu hadist dari Bukhari Muslim,lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri sedang yang lain dari sanad Al-Bukhari atau muslim itulah yang dinamakan dengan Istikhraj sedang makna dari Istidrak yakni mengumpulan hadits-hadits yang memiliki syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak di sahihkan oleh Bukhari dan Muslim diantaranya Al-Mustadrak oleh Abu Dzar Al-Harawy. Pembukuan hadith pada periode keIV - VII ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan variasi pen- tadwin- an terhadap kitab- kitab hadith yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al kutub al- sittah, al- Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan al Musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab- kitab yang berbentuk jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadith untuk topik- topik tertentu.[12] 5. abad ke 7(656 H) - Sekarang Kodifikasi hadith yang dilakukan pada abad ini dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab- kitab hadith, menyaringnya, dan menyusun kitab- kitab takhrij, membuat kitab- kitab jami’ yang umum, kitab- kitab yang mengumpulkan hadith- hadith hukum, men takhrij hadith- hadith yang terdapat dalam beberapa kitab, men- takhrij hadith- hadith yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf, mengumpulkan hadith- hadith disertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadith- hadith dalam shahih al- Bukhari dan Shahih Muslim, men- tashih sejumlah hadith yang belum di tashih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadith- hadith tertentu sesuai topik, dan mengumpulkan hadith dalam jumlah tertentu.[13] Periode ini masa dimulai setelah meninggalnya Khalifah Abbasiyah keXVII Al-Mu’tasim yang dinamakan Ahdu As-Sahri wa Al-Jami’ wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi,yaitu masa pensyarahan,penghimpunan,pen-tahrij-an,dan pembahasan. Usaha-usaha yang dilakukan ulama’ pada masa ini adalah menerbitkan hadits,menyaringnya,dan menyusun enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab jami’ yang umum Pada periode ini disusun kitab-kitab Zawa’id,yaitu usaha mngumpulkan hadits yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya kedalam kitab tertentu,diantaranya adalah Kitab Jami’ Al-Masanid wa As-SunanAl-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-HafidzIbnu Katsir,dan Jami’ul Jawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H). Tokoh hadits yang terkenal pad masa ini : 1.) Ibnu Katsir (774 H). 2.) Abu Zurah (826 H). 3.) AS-Suyuthi (911 H). 4.) Muglathai (862 H). 5.) Ad-Dimyaty (705 H). 6.) Ibnu Sayyidinnas (734 H). 7.) Ad-Dzahaby (748 H). 8.) Al-Bulqiny (805 H). 9.) Ibnu Rajab (795 H). 10.) Ibnu Mulaqqin (804 H) 11.) Az-Zarkasy (794 H),dll, DAFTAR PUSTAKA Kholis, Nur. 2008. Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadits.Yogyakarta : Teras. Suyadi, Agus Solahuddin. 2009.Ulumul Hadits. Bandung : Pustaka Setia. Al Hadi, Abu Azam. 2008. Study Al-Hadith. Jember : Pena Salsabila.

Sumber Hukum Islam (As-Sunnah)

A.Pengertian Hadist Hadist secara etimologis ialah al jadid, al qorib dan al-khobar, yang memberi kabar atau berita. Di samping itu M.M Azami mendefinisikan bahwa kata al-hadist berarti:komunikasi,kisah,percakapan. Sedangkan secara istilah atau terminologi, para ulama, baik muhadistin, fuqoha, ataupun ulama’ ushul feqih dalam perumusan pengertian hadist itu berbeda pendapat. Perbedaan pandangan tersebut disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalamnya . a) Ulama’ hadist mendefisikan hadist ialah: كل ما اثر عن النبى صلى الله علىه وسلم من قول اوفعل اوتقرير اوصفة خلُقيٌة او خلقيٌة Segalah sesutu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda,perbuatan, taqrir sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi . b) Dan menurut istilah ahli ushul feqih,pengertian hadist ialah: Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SWT,selain al-qur’an al-karim,baik berupa perkataan, perbuatan, maupun tqrir nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara’. c) Sedangkan menurut istilah para fuqoha, hadist adlah: Segala sesuatu yg ditetapkan Nabi SWT, yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib. B. Nama-nama lain dari Al-Hadist 1. As-sunnah 2. Ialah segala sesuatu yang di nukilkan dari nabi SWT,baik berupa perkataan perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup,baik sebelumdiangkat jadi rosul atau sesudah kerasulan beliau 3. Al-Khobar Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW,atau yang dari selain Nabi SAW. 4. Atsar Menurut kebanyakan ulama’, Atsar mempunyai pengerian yang sama dengan khobar dan hadis,namun menurut ulama lainnya atsar cakupannya lebih umum dibandingkan khobar. Jadi bahwasannya pengertian hadis, sunnah, khobar, atsar, sebagaimana diuraikan di atas, menurut Jumhur ulama ahli hadis, dapat dipergunakan untuk maksud yang sama,yaitu bahwa hadis juga disebut dengan sunnah, khobar, atau atsar, begitu pula sebaliknya. C.Kedudukan Hadis Kita sebagai umat islam telah mengakui bahwa hadis Nabi SAW, dipakai sebagai pedomman hidup yang utama setelah al-quran, karena ia menempati kedudukan yang sangat penting setelah Al-Quran.Hal ini karena hadis merupakan mubayyin terhadap Al-Quran. Tanpa memahamidan menguasai hadis, sapapun tidak akan bisa memahami Al-Quran. Sebaliknya, siapapun tidak bsa memahami hadis tanpa memahami Al-Quran karena A-Quran merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat , dan Merupakan dasar hukum kedua, yang didalamnya berisi pejabaran dan penjelasan Al-Quran. Dengan demikian antara Al-Quran dan Hadis memilii kaitan yang sangat erat,artinya satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, kedudukan hadis dalam umat islam tidak dapat diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik dalam Al-quran maupun dalam hadis Nabi Muhammad SAW. Dan di bawah ini ada beberapa argumen atau keterangan-keterangan yang menjeleskan kedudukan atau kehujjahan sebuah hadist sebagai sumber hukum islam yang kedua, mulai dari segi rasional, dalil Al-Quran, dalil hadist, dan ijma’. 1. Argumen Secara Rasional Didalam rukun iman sudah jelas bahwasannya kita di perintahkan untuk beriman kepada rosul allah. Dan menurut Ajjaj Al-khotib menjelaskan bahwa didalam rukun iman selain kita harus beriman kepada allah kita juga harus beriman pada rosul-Nya, secara hakiki kita juga beriman pada kitab allah dan apa yang di peritahkan oleh nabi serta segala yang dilarang nabi (As-Sunnah) . Jadi kita sudah jelas bahwa sunnah nabi merupakan sumber hukum islam setelah Al-Quran. 2. Argumen menurut Dalil Al-Quran Dalam al-Quran banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti Allah yang digandengkan dengan ketaatan mengikuti Rosul-Nya, seperti firman allah dibawah ini: قل اطيعواالله والرسول فا ن تولٌوافان الله لايحبٌ الكافرين(ال عمران:32 ) Katakalah, “Taatilah Allah dan Rosul-Nya, jika kam berpaling, sesumgguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. ( Q.S Ali ‘Imron) Dalam Q.S An Nahl [16]: 44, Allah berfirman: بِا لبينت والزبرِ واَنزلنا اليك الذكر لِتبَيٌنَ للنٌاس ما نزٌل اليهم ولعلهم يتذكرون ( النحل:44( (Mereka kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukzijat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan Az-Zikr( Al-quran) kepadamu,agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkannya. Atat-ayat tersebut hanya salah satu dari sekian banyak ayat yang menerangkan tentang kewajiban memperpercai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rosul kepada umatnya. 3. Argumen menurut Dalil Rosulullah SAW. Untuk menyempurnakan dan tambah yakin keimanan kita, dibawa ini ada beberapa hadis yang menjelaskan kewajiban mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW, meski banyak ayat-ayat Al-Quran yang telah menjelaskannya: تركت في؃م اَمرين اَنتضلٌوا ابدا مااِن تمسٌكتم بهما كِتابَ اللهِ وسنٌة رسوله (روه الحاكم ) Aku tinggalkan dua pustaka pada kalian. Jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab allah (Al-Quran) dan snnah Rosul-Nya. (H.R ayaidHakim dari Abu Hurairah) Dalam hadis lain, Rosulullah SAW, bersabda, عايكم بسنتي وسنةِ الخلفاء الراشدين المهديٌين تمَسٌكٌوا بها(رواه ابوداودوابن ما جه) Wahai bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin (kholofah yang mendapat pentunjuk), berpegang tegulah dengannya.(HR.Abu Dawud dan Ibnu Majjah) 4. Argumen secara Ijma’ Seluruh umat islam telah sepakat untuk mengamalkan hadis. Dan kaum muslimin menerima hadis seperti Al-Quran Al-Karim karena berdasarkan penegasan dari Allah SWT. Bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran islam . Dan Asy-Syatibi berpendapat mengapa As-Sunnah/ Hadis berada dibawah tingkatan Al-Quran?, bahwa: 1. Al-Quran diterima secara qoth’i (menyakinkan), sedangkan hadis diterma secara zhanni, kecuali hadis mutawatir. 2. Hadis adakalanya menerangkan sesuatu yang bersifat global dalam Al-Quran, adakalanya memberi komentar terhadap Al-Quran,dan membicarakan sesuatu yang blum dibicarakan atau memberi komentar terhadap Al-Quran. 3. Dan dalam hadis terdapat petunjuk mengenai hal tersebut, yakni hadis menduduki posisi kedua setelah Al-Quran, sebagaimana dialog Nabi dengan Mu;adz bin Jabal. D. Fungsi Hadist Allah Swt, menurunkan Al-Quran bagi umat manusia,agar Al-Quran ini dapat dipahami oleh manusia, maka rosulullah diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajaran kepada mereka melalui hadis-hadisnya. Oleh karna itu, fungsi hadis Rosul sebagai penjelas( bayan) Al-Quran bermacam-macam.Imam malik bin bayan atnnas menyebutkan 5 mcam fungsi,yaitu bayan at taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al ba’ts, bayan al-tasyrii. Dan imam safi’i menyebutkan 5 fungsi juga yaitu,bayan tafshil, bayan al-tahsis, bayan al-ta’yin dan bayan al-nasyakh. Dan imam Ahmad bin hambal menyebutkan 4 fungsi yaitu bayan at-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan at-tasyrii, dan bayan at-tahsish . Agar masalah ini lebih jelas,maka dibawah ini akan diuraikan satu persatu: 1. Bayan al-taqrir Disebut dengan bayan at-ta’kid dan al- istbat. Yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterapkan didalam Alqur’an. Fungsi hadist dgn hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Alqur’an.suatu contoh yang diriwayatkan dari ibnu umar,yang berbunyi sebagai berikut: فإذارأيتم الهلال فصوموا وإذارأيتموه فأفطروا(روه مسلم) Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan,maka berpuasalah,juga apabila melihat (ru’yah) itu,maka berbukalah.(HR.Muslim) Hadist ini datang men-taqrir ayat alqur’an surat al-baqarah, dibawah ini: ..فمن شهد منكم الشهر فاليصمه “Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan hendaklah ia berpuasa...(QS.Albaqoroh (2):185)” 2. Bayan Al-Tarfsir Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-quran yang masih bersifat global (mujmal), memberi batasanatau persyaratan(taqyid) ayat-ayat Al-Quran yang bersifat mutlaq, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat Al-Quran yang bersifat umum. Seperti perintah mengerjakan sholat, puasa, zakat, disyariatnya jual beli, nikah. Contoh dibawah ini hadis yang berfungsi sebagai bayan tafsir: صلوا كما رأيتمواني أصلي (رواه البخارى) Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku sholat.(HR, Bukhori) Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan sholat dan tafsir dari ayat al-quran surat( Albaqoroh :43) dibawah ini: Dan kerjakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan rukulah beserta orang-orang yang ruku( Albaqoroh :43) 3. Bayan al-Tasyri’ Bayan ini adalah berfungsi untuk mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-quran, atau dalam al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya (ash). Hadis Rosul SAW, dalam segalah bentuknya (baik yang qouli, fi’li, maupun taqriri) berusaha menunjukkkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat di dalam Al-Quran. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan menunjukkan bimbingan dan penjelasan inti persoalannya. Hadis-hadis Rosul SAW yang termasuk kedalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang hukum merajam penzina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطرمن رمضان على الناس صاعامن تمراوصاعا من شعيرعلى كل حرأوعبد ذكرأو أو أنثى من المسلمين Bahwasannya Rosulullah SAW, mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada bulan romadhon satu sakat (sha) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim. (RH. Muslim) 4. Bayan al-Naskh Kata naskh secara bahasa, bermacam-macam arti. Bisa berarti Al-Ibthal (membatalkan), atau At-Tahwil (memindahkan), atau At-Tagyir (mengubah). Dan terjadi perbedaan pendapat dalam mendifinisikan bayan naskh antara ulama Mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin,terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti naskh dari sudut kebahasan. menurut ulama Mutaqodimin bayan An-naskh ialah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Maksudnya, bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang terdahulu. Hadis yang datang kemudian daripada Al-Quran dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan Al-Quran. Dibawah ini contoh hadis yang me-nasakh kan hukum didalam Al-Quran. Yang dinarasikan oleh Abu Umamah al-Bahili, yang berbunyi: “Sesungguhnya allah telah memberikan tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”(HR Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali al-Nasa’i) >Hadis ini dinilai hasan oleh ahmad dan turmudzi. Hadis ini menurut nereka me-nasakh isi Al-Quran surat al-baqarah:180, yang berbunyi: كتب عليكم إذاحضرا احدكمالمو ت إن ترك خيراالوصيةة للوالدين والاقربين بالمعروف حقا على المتقين “Diwajibkam atas kamu, apabila sesorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mat, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, Yang demikian adlah hak terhadap orang-orang yang bertakwa”. Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah: 180 di atas, di nasakh hukumnya oleh hadis yang menjelaskan, bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat. Jadi secara garis besar, ada tiga fungsi utama hadis nabi SAW, terhadap Al-Quran yaitu : 1) Menetapkan dan menguatkan hukum yang ada dalam Al-Quran. 2) Memperinci dan menjlaskan hukum-hukum dalam Al-Quran yang masih global, membatasi yang mutlaq dan mentakhsis keumuman ayat Al-Quran. 3) Membuat atau menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Quran . E. TADWIN HADISH 1. Kodifikasi Hadith Abad II H. Pada abad kedua, para ulama dalam aktifitas kodifikasi hadith tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadith- hadith saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan ke dalam kitab- kitab mereka. Dengan kata lain, seleksi hadith pada abad kedua ini disamping memasukkan hadith- hadith nabi juga perkataan para sahabat dan para tabi’in juga dibukukan, sehingga dalam kitab- kitab itu terdapat hadith- hadith marfu’, hadith mawquf dan hadith maqthu’. 2. Kodifikasi Hadith Abad III H. Abad ketiga Hijriah ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa penyeleksian ini terjadi pada zaman Bani Abbasyiyah, yakni masa al- Ma’mun sampai al- Muktadir (sekitar tahun 201- 300 H). Periode penyeleksian ini terjadi karena pada masa tadwin belum bias dipisahkan antara hadith marfu’, mawquf, dan maqthu’, hadith yang dhaif dari yang sahih ataupun hadith yang mawdhu’ masih tercampur dengan sahih. Pada saat ini pula mulai dibuat kaidah- kaidah dan syarat- syarat untuk menentukan apakah suatu hadith itu sahih atau dhaif. Para periwayat hadith pun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran, kekuatan hafalan, dan lain sebagainya. 3. Kodifikasi Hadith Abad IV- VII H. Kalau abad pertama, kedua, dan ketiga, hadith berturut- turut mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan, serta penyaringan dari fatwa- fatwa sahabat dan tabi’in, yang system pengumpulan hadith nya di dasarkan pada usaha pencarian sendiri untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka pada abad keempat dan seterusnya digunakan metode yang berlainan. Demikian pula, ulama yang terlihat pada sebelum abad ke empat disebut ulama mutaqaddimun dan ulama yang terlibat dalam kodifikasi hadith pada abad keempat dan seterusnya disebut ulama mutaakhirin. Pembukuan hadith pada periode ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan variasi pen- tadwin- an terhadap kitab- kitab hadith yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al kutub al- sittah, al- Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan al Musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab- kitab yang berbentuk jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadith untuk topik- topik tertentu. 4. Kodifikasi Hadith Abad VII- sekarang. Kodifikasi hadith yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab- kitab hadith, menyaringnya, dan menyusun kitab- kitab takhrij, membuat kitab- kitab jami’ yang umum, kitab- kitab yang mengumpulkan hadith- hadith hukum, men takhrij hadith- hadith yang terdapat dalam beberapa kitab, men- takhrij hadith- hadith yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf, mengumpulkan hadith- hadith disertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadith- hadith dalam shahih al- Bukhari dan Shahih Muslim, men- tashih sejumlah hadith yang belum di tashih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadith- hadith tertentu sesuai topik, dan mengumpulkan hadith dalam jumlah tertentu. F. Faktor- faktor Pendorong Kodifikasi Hadis Ada tiga hal pokok yang melatar belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd Aziz melakukan kodifikasi hadith: 1. Beliau khawatir hilangnya hadith- hadith, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini adalah faktor utama sebagaimana yang terlihat dalam naskah surat- surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya. 2. Beliau khawatir akan tercampurnya antara hadith- hadith yang shahih dengan hadith- hadith palsu. 3. Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya kodifikasi ini. Dengan demikian faktor terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian hadith adalah untuk menyelamatkan hadith- hadith nabi dari kepunahan dan pemalsuan. G. PENENTU KEBIJAKAN KODIFIKASI DAN ULAMA YANG TERLIBAT DI DALAMNYA Para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat penulisan hadith dalam beberapa pendapat: a. Sebagian mereka membencinya, diantaranya adalah Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud serta Zaid bin Tsabit. b. Sebagian lain membolehkannya, diantaranya adalah Abdullah bin Ameer dan Anas, Umar bin Ibnu Abdul Aziz serta kebanyakan para sahabat. c. Kemudian mereka sepakat untuk membolehkannya, dan hilanglah perbedaan. Dan terutama dimasa kita sekarang,Sedangkan ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara seandainya hadith tidak dibukukan dalam kitab- kitab niscaya akan sirnalah dalam masa akhir lain : 1. Khalifah Umar bin Abdul Aziz. (memerintah mulai tahun 99-101 H). Beliaulah yang memerintahkan adnya pembukuan hadith dengan alasan kuatir lenyapnya ajaran- ajaran nabi berhubung telah banyak ulama dan sahabat yang wafat. Karena itu beliau menginstruksikan kepada para gubernur dari semua daerah Islam supaya menghimpun dan menulis hadith- hadith nabi. 2. Abdul Malik bin Abdul Aziz (-150 H) di Makkah. 3. Malik bin Anas (93-179 H) dan Muhammad bin Ishaq (-151 H) di Madinah. 4. Muhammad ibnu Abdurrahman bin Dzi’ib (80-158 H) di Makkah. 5. Rabi’ bin Sabih (-160 H), Sa’id bin ‘Arubah (-156 H) dan Hammad ibn Salamah (-167 H) di Basrah. 6. Sufyan al-Thauri (97-161 H) di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid (95-153 H) di Yaman. 7. Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i (88-157 H) di Sham. 8. ’Abdullah ibn al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan. 9. Hashim ibnu Bushair (104-183 H) di Wasit. 10. Jarir ibn Abdul Hamid (110-188 H) di Rayy. 11. Abdullah ibn Wahb (125-197 H) di Mesir Proses kodifikasi pada masa ulama Ibnu Abdul Aziz Untuk keperluan tadwin ini, sebagai khalifah Umar memberikan instruksi kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm, seorang gubernur Madinah agar mengumpulkan dan menghimpun hadith- hadith yang ada pada Amrah binti Abd al- Rahman al- Anshari dan al- Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Instruksi untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadith juga disampaikan kepada Muhammad ibn Syihab al- Zuhri, seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Al- Zuhri menggalang agar para ulama hadith mengumpulkan hadith di masing- masing daerah mereka, dan ia berhasil menghimpun hadith dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadith selanjutnya BAB III PENUTUP As-sunah atau Al-Hadis adalah Segalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw, baik brupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan yang sebagainya. Dan kedudukan hadis bagi umat islam adalah sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al-Quran. Karena hadis sangat berperan dalam penjelasan ayat-ayat Al-Quran yang masih global dan lainnya, dibawah ini adalah fungsi hadis: 1) Menetapkan dan menguatkan hukum yang ada dalam Al-Quran. 2) Memperinci dan menjlaskan hukum-hukum dalam Al-Quran yang masih global, membatasi yang mutlaq dan mentakhsis keumuman ayat Al-Quran. 3) Membuat atau menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qura Pada masa khplifah Umar bin Abdul Aziz, itulah masa pembukuan hadist secara murni dan beliau mengutus Gubenur Madinah yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Amar bin Hazm untuk segera menulis hadist. Karena di kota Madinah merupakan sumber munculnya hadist. Ada tiga hal pokok yang melatar belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd Aziz melakukan kodifikasi hadith: 1. Beliau khawatir hilangnya hadith- hadith, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini adalah faktor utama sebagaimana yang terlihat dalam naskah surat- surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya. 2. Beliau khawatir akan tercampurnya antara hadith- hadith yang shahih dengan hadith- hadith palsu. 3. Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya kodifikasi ini. Dengan demikian faktor terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian hadith adalah untuk menyelamatkan hadith- hadith nabi dari kepunahan dan pemalsuan DAFTAR PUSTAKA Anwar Rosihon, pengantar Studi Islam, Bandung, CV.Pustaka Setia,2009. Thohari Amin, Syafak Hamis, dkk, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011. Zainuddin,dkk, Studi Hadis, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011 Izzan Ahmad, Nur Syaifuddin, Ulumul Hadis, Bandung,Humaniora, 2011

Lembaga Banding dalam Peradilan Agama

Lembag peradilan didirikan dengan tujuan menegakkan keadilan bagi para pihak pencari keadilan. Para pencari keadilan mengharap keadilan dapat diperoleh melalui putusan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan. Agi setiap putusan hakim tersedia berbagai upaya hukum yakni upaya untuk mencegah dan memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Apabila penegakan keadilan dirasa dirasakan oleh satu pihak masih belum terpenuhu, maka para pihak tersebut mengajukan keeratan atas putusan hakim di tingkat pertama untuk dapat diperiksa kembali oleh peradilan yang lebih tinggi, upaya hukum ini disebut dengan banding yang mana berada dalam lingkunan Peradilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama. Pengertian dan macam upaya hukum Upaya hukum yaitu suatu usaha bagi tiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingan untuk memperoleh keadilan dan perlindungan /kepastian hukum , menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang. Jenis-jenis upaya hukum: 1. Upaya hukum melawan gugatan : a. Eksepsi b. Rekonvensi ; (gugatan balik) c. Inta vrijwaring 2. Upaya hukum melawan putusan : a. upaya hukum biasa : a.)Verzet Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama, yang diajukan oleh tergugat yang diputus verstek tersebut, dalam waktu tertentu, yang diajukan ke Pengadilan Agama yang memutus itu juga. Bagi putusan verstek belum bisa mempergunakanupaya hukum banding sebelum ia mempergunakan dulu upaya hukum verzet. b.)Banding Banding ialah permohonan pemeriksaan kembali terhadap putusan atau penetapan Pengadilan Tingkat pertama, karena merasa tidak puas atas putusan tersebut ke pengadilan tingkat bandin. c.)Kasasi kasasi artinya pembtalan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama/ putusan pengadilan tingkat banding ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan tingkat pertama yang dahulunya memutus , karena adanya alasan tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. upaya hukum kasasi baru bisa digunakan kalau sudah mempergunakan upaya hukum banding. b. Upaya hukum luar biasa (istimewa) : a.) Rekes Sipil (Peninjauan Kembali) peninjauan kembali yaitu pemeriksaan kembali putusn hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahui adanya hal-hal baru yang dulu tidak diketahui hakim, sehingga apabila hal-hal tersebut diketahui maka putusan hakim akan menjadi lain. 3. Upaya hukum pembuktian : a. Saksi b. Tulisan c. Dugaan/ Prasangka d. Pengakuan e. Sumpah; dan sebagainya dengan alat bukti yang sah. Tempat mengajukan permohonan/ gugatan Peradilan Agama sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, adalah Peradilan Agama Islam di Indonesia. Hukum acara yang dipergunakan adalah yang termuat dalam UU Nomor 7 tahun 1989 sebagai aturan khusus (lex specialis) ditambah dengan Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum sebagai aturan umum (lex generalis) bagi hal-hal yang tidak ditemukan dalam UU Nomor 7 ahun 1989. Oleh karena itu dalam Bab ini

Riba VS Bunga Bank

A. Pengertian Riba Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Bertambah (( الزيا دة , karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari salah satu yang di hutangkan. 2. Berkembang, berbunga ( النام ), karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang di pinjamkan kepada orang lain. 3. Berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah : اهتزت وربت ( الحج : ه ) Bumi jadi subur dan gembur ( Al-Haj : 5 ) Sedangkan menurut istilah, yang di maksud dengan riba menurut Al-Mali ialah : عقد واقع على عوض محصوص غير معلوم التما ثل في الشرع حا لة العقد أو مع تأخير في البدلين او احدهما “ Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak di ketahui pertimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya “. Menurut Abdurrahman al-jaiziri, yang di maksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak di ketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya. Syakh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang di maksud dengan riba ialah penambahan-penambahan yang di isyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya ( uangnya ), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang di tentukan. B. Sebab-sebab haramnya riba Sebab-sebab riba di haramkan adalah sebagai berikut : 1. Karena Allah dan Rasulnya melarang atau mengharamkannya, firman Allah : وأحل الله البيع وحرم الربا ( البقرة : 275 ) “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “( Al-Baqarah : 275 ) Rasulullah Saw. Bersabda : الربا اثنان وستون بابا أدناها الذى يقع على أمه ( رواه ابن حارير ) “ Riba memiliki enam puluh pintu dosa, dosa yang paling ringan ialah seperti dosa yang berzina dengn ibunya"( Riwayat Ibnu Jarir ). 2. Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya. 3. Dengan melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’. 4. Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama menusia. C. Macam-Macam Riba Sanhuri membedakan berbagai macam bentuk riba, yaitu : 1. Riba masa pra-Islam (riba al-jahiliyah) 2. Riba al-nasi’ah 3. Riba al-fadhl 4. Riba al-qardh Sanhuri menegaskan bahwa larangan riba dalam semua bentuknya bermuara pada aspek norma, meskipun larangannya bervariasi. Berdasarkan alasan ini , riba tidak dianggap sah menurut hukum kecuali dalam keadaan terpaksa (dharuri) atau benar-benar butuh (haja). Menurutnya, riba al-jahiliya adalah bentuk riba paling buruk di antara sekian bentuk riba, oleh karena itu dilarang secara mutlak. Kadarnya sama apabila meminta bunga (interest) secara berlipat ganda. Faktor terpaksa (dharuri) tidak berlaku bagi kreditur (pemberi pinjaman), Waktu debitur(peminjam) terpaksa meminjam berdasarkan tingkat bunga yang tidak sewajarny`. Riba al-nasi’ah, Riba al-fadhl, dan Riba al-qardh dilarang karena mencegah berulangnya praktik riba dalam masa pra-Islam. Riba tersebut kemudian dapat diperbolehkan untuk sementara waktu, karena benar-benar keadaan butuh dan dilakukan menurut kadar kebutuhannya. Dia menjelaskan dalam kasus bunga pinjaman : Dalam sistem ekonomi kapitalis, modal dikuasai oleh individu, lembaga, dan bank ; tidak dikuasai pemerintah. Para pengusaha umumnya membutuhkan dana untuk modal investasi. Selama modal tidak dikuasai oleh pemerintah dan kebutuhan untuk memperoleh modal diperoleh melalui pinjaman yang tingkat bunganya telah ditentukan, adalah sah menurut hukum, sebagai pengecualian atas larangannya. Tingkat bunga yang tidak berlipat ganda dihukumi sebagai sesuatu yang sah menurut hukum apabila terdesak oleh kebutuhan Riba di lihat dari asal transaksinya dapat di kelompokkan menjadi dua jenis yaitu riba yang berasal dari transaksi utang piutang dan jual beli : 1. Riba dari utang piutang Riba ini terjadi di sebabkan adanya transaksi utang piutang antara dua pihak. Riba yang berasal dari utanh piutang di bagi menjadi dua jenis yaitu riba qardh dan riba jahiliyah. • Riba Qardh Adalah suatu tambahan atau kelebihan yang telah di syaratkan dalam perjanjian antara pihak pemberi pinjaman dan peminjam. Dalam perjanjian disebutkan bahwa pihak pemberi pinjaman meminta adanya tambahan sejumlah tertentu kepada pihak peminjam pada saat peminjam mengembalikan pinjamannya. • Riba Jahiliyah Riba jahiliyah merupakan riba yang timbul karena adanya keterlambatan pembayaran dari si peminjam sesuai dengan waktu pengambilan yang telah di perjanjikan. Peminjam akan membayar dengan jumlah tertentu yang jumlahnya melebihi jumlah uang yang telah dipinjamnya apabila peminjam tidak mampu membayar pinjamannya sesuai dengan jangka waktu yang telah di perjanjikan. 2. Riba dari transaksi jual beli Riba, biasa juga di sebabkan dari transaksi pertukaran barang atau jual beli. Riba yang berasal dari transaksi jual beli di bagi menjadi dua jenis yaitu riba fadhl dan nasiah. • Riba Fadhl Adalah tambahan yang di berikan atas pertukaran barang yang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Barang yang menjadi objek pertukaran ialah termasuk dalam jenis barang ribawi. Dua pihak melakukan transaksi pertukaran barang yang sejenis, namun satu pihak akan memberikan barang ini dengan jumlah, kadar, atau takaran yang lebih tinggi. Maka, kelebihan atas kadar atau takaran barang ribawi yang di tukarkan merupakan riba. • Riba Nasiah Riba nasiah merupakan pertukaran antara jenis barang ribawi yang satu dan yang lainnya. Pihak satu akan mendapatkan barang yang jumlahnya lebih besar di sebabkan adanya perbedaan waktu dalam penyerahan barang tersebut. Penerima barang akan mengembalikan dengan kuantitas yang lebih tinggi karena penerima barang akan mengembalikan barang tersebut dalam waktu yang akan datang. D. Pengertian Bunga Bank Bunga bank adalah : keuntungan yang diberikan oleh bank kepada nasabah dalam jangka waktu tertentu berdasarkan persentase dan jumlah tabungan (modal) nasabah Beberapa teori yang dalam pembebanan bunga : 1. Teori Abtinence Bunga merupakan suatu imbalan atas upaya menahan diri dari kapitalis . Kreditor menahan diri untuk tidak menikmati kesenangan selama beberapa waktu, dan kesenangan tsb diberikan kepada pihak peminjam. Dengan demikian, pemberian pinjaman membebankan kepada peminjam. Namun teori ini terbantahkan dengan adanya kenyataan investor menempatkan dananya atau memberikan pinjaman bukan karena menahan diri melainkan memang tidak memanfaatkan dana yang menganggur, sehingga tidak ada alasan untuk membebankan bunga kepada peminjam. 2. Teori Produktif- Konsumtif Teori ini melihat produktivitas sebagai suatu property dari modal, sehingga pemberi pinjaman dapat mengambil bunga sebagai imbalan atas dana yang digunakan oleh peminjam secara produktif. Dengan meningkatkan produktivitas, maka keuntungan akan bertambah, sehingga pihak pemberi pinjaman membebankan bunga atas keuntungan dari dana yang dipinjamkan. Dan teori ini terbantahkan dengan adanya peminjam belum tentu menggunakan uang pinjamannya untuk memproduksi barang maupun meningkatkan fungsi barang menjadi nilai yang lebih tinggi. Seandainya ia ingin membantu untuk tujuan , hukum yang berlahu adalah pinjaman kebajikan, dalam hal ini seperti tercantum dalam surat al-Hadid ayat 11 3. Teori Bunga sebagai Imbalan SewaTeoti ini mengatakan bahwa bunga atas uang yang dipinjamkan dianggap sebagai sewa, Sehingga pihak pemberi pinjaman berhak atas pendapatan sewa. Teori ini terbantahkan, karna uang bukanlah aset yang dapat disewakan akan tetapi uanglah yang merupakan alat tukar. Uang tidak dapat disusutkan seperti aset tetap lain yang lazim disewakan. Pemilik aset akan dibebani biaya penyusutan dan tetap memperoleh keuntungan atas sewa aset miliknya. 4. Teori Inflasi Kenaikan harga tiap tahunnyamembuat teori ini seolah-olah dapat membenarkan pembebanan bunga atas uang yang dipinjamkan, Namun terbantahkan dengan adanya transaksi yang dapat dilakukan dengan adnya konsep jual beli. 5. Teori Peminjam Memperoleh Keuntungan Peminjam memanfaatkan uang pinjamannya untuk suatu usaha, sehingga akan memperoleh keuntungan, Kreditur memberikan waktui kepada Debitur. Dengan demikian bunga boleh diberikan sebagai pembagian hasil atas usaha Debitur. 6. Teori Nilai Barang Masa Mendatang Lebih Rendah Dibanding Masa Sekarang Nilai uang akan menurun dari waktu ke waktu, sehingga dibebankan bunga atas uang yang dipinjamkan. E. Beberapa Pendapat tentang Dibolehkannya Bunga Bank : 1 . Adanya hajat dan darurat dalam kehidupan kontemporer 2. Adanya perbedaan pinjaman konsumtif dan pinjaman produktif. Menurut Doulabi , pinjaman produktif diperbolehkan, sedangkan pinjaman konsumtif tidak diperbolehkan 3. Adanya perbedaan antara riba dan bunga. Menurut Hafni Nasif dan Abdul aziz Jawish, yang diharamkan adalah riba bukan bunga bank. 4. Perlu diperhatikannya inflationary economic, yaitu kenaikan suku bunga akan mengoreksi kerugian yang diderita oleh kreditur F. Konsep Riba dalam Perspeksi non-Muslim 1. konsep bunga dikalangan Yahudi dalam kitab sucu mereka, baik dalam Old Testamend (perjanjian lama)maupun undang-undang Tamlud tercantum larangan mempraktekan pengambilan bunga. 2. konsep bunga dikalangan Yunani dan Romawi pada masa Romawi, sekitar abad V SM sampai IV M, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum. Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. 3. konsep bunga dikalangan Nasrani dalam perjanjian baru memang tidak menyebutkan dengan jelas, namun dalam lukas 6 :34-5 telah dikecam praktek pengambilan bunga. G. Fatwa tentang Riba dan Bunga 1. Majlis Tarjih Muhammadiyah Majelis Tahhrij mengambil keputusan mengenai hokum ekonomi/ keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan ecara umum (197), dan koperasi simpan pinjam (1989, Majelis Tarjih Sidoarjo (196) memuttskan : a. .riba hukumnya haram dengan nash al-Qur’an dan as-Sunnah. b. Bank dengan system riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal. c. Bunga yang diberikan oleh bank milik Negara kepada para nasabahnya atau selama ini yang berlaku, termasuk perkara musytabihat. d. Menyarankan PP Muhammadiyah untuk mengusahakn terwujudnya konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam. 2.Bahsul Masa’il NU Memutuskan masalah tersebut dengan beberapa kali siding, hokum bank dan hokum bunganya dianggap sama seperti hokum gadai : a. Haram, sebab termasuk hutang yang dipungut rente b. Halal, tidak ada syarat waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat. c. Syubhat (tidak tentu halal-haramnya), sebab para ahki hokum berselisih pendapat tentangnya. 3.Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) Semua pesreta siding OKI kedua berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970 : a. Praktik bank dengan system bunga adalah tidak sesuai dengan syari’ah Islam b. Perlu segera didirikan bank-bank alternative yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip syari’ah. 4.Mufti Negara Mesir Tercatat sekurang-kurangnya sejak 1900-19889, Muftu Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan. 5.Konsul Kajian Islam Dunia Dalam konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas Al-Azhar Kairo, bulan Muharam 1380 H/ Mei 1965 M, ditetapkan bahwasannya tidak ada sedikitpun keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional DAFTAR PUSTAKA Ismail. 2011. Perbankan Syari’ah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Syafi’I, Muhammah. 2001. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani. Saeed, Abdullah.2003. Bank Islam dan Bunga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Remi, Sutan.1999. Perbankan Islam. Jakarta: PT Temprint. IQTISHODUNA. April 2018. Bunga Bank dan Riba dalam Perspektif Sejarah dan Agama. Fakultas Ekonomi : UIN Malang

EFEKTIFITAS HUKUM

Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektifitas hkum dapat diukur maka kita juga harus tau sejauh mana hukum tersebut ditaati atau tidak. Jika suatu hukum telah ditaati oleh sebagian besar target maka dapat dikatakan bahwa aturan hukum tersebut efektif. Namun sebenarnya ditaati atau tidaknya suatu hukum tergantung pada kepentingan seseorang. Dan kepentingan tersebut bersifat macam-macam. Jika mengkaji mengenai ketaatan hukum secara umum, maka ada beberapa faktor-faktor yang perlu diuraikan seperti halnya sebagai berikut : a. Relevansi aturan hukum secara umum dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum. Jika suatu aturan hukum berupa undang-undang, maka si pembuat undang-undang dituntut untuk paham akan kebutuhan hukum tersebut, dan mengenai subtansinya sebaiknya suatu perundang-undanag bersifat melarang, karena hukum yang bersifat melarang lebih mudah untuk diterapkan atau dilaksnakan dari hukum yang hanya bersifat mengaruskan, khususnya pata aturan hukum yang mengandung nilai moral b. Sosialisasian yang optimal pada seluruh target aturan hukum. Semua penduduk dimanapun, tidaka akan mungkin mengetahui keberadaan suatu hukum ketika tidak adanya suatu pensosialisasian yang optimal. Oleh karena itu sangatlah penting peran sosialisasi itu sendiri, khususnya untuk suatu aturan hukum yng baru saja dibuat. c. Kejelasan rumusan dari subtansi aturan hukum Harus adanya perumusan subtansi aturan hukum yang jelas dan baik agar mudah dipahami sehingga tidak memunculkan suatu keambiguan dalm aturan hukum, meskipun nantinya tetap membutuhkan suatu interpretasi dari penegak hukum yang akan menerapkannya. d. Sanksi Dalam pelaksanaan sanksi itu sendiri sebenarnya harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar, karena tidak semua sanksi yang dijatuhkan dirasa tepat, Namun tetap saja harus adanya sangsi yang tegas agar segala aturan hukum dapat berjalan dengan baik dan terarah. Sedangkan ketika dilihat dari nilai proporsionalnya terkadang akan menimbulkan suatu ketidak adilan bagi seseorang walaupun dia memang divonis bersalah. Jadi menenai penjatuhan suatu sanksi dirasa juga harus mempertimbangkan kondisi, karena kodisi tiap pelanggar aturan hukum tidak semua sama. Itulah yang perlu jadi pertimbangan bagi aparat pelaksana penegak hukum. e. Profesional tidaknya aparat penegak hukum Efektif tidaknya suatu aturan hukum juga ditentukan oleh keprofesionalan para aparat penegak hukum dalam penegakan aturan hukum tsb, karena mereka memiliki peran yang cukup besar terkait pelaksanaan hukum itu sendiri, mulai dari tahapan penemuan hingga pemecahan suatu kasus. Terkadang sangat disayangkan banyak sekali sebagian dari mereka terkadang lengah bahkan tidak terlalu memperhatikan hal-hal kecil padahal mereka sendiri merupakan contoh bagi masyarakat sipil. f. Standart hidup sosial-ekonomi dalam masyarakat Di era global seperti saat ini permasalahan yang paling banyak dihadapi oleh masyarakat adalah masalah ekonomi yang merupakan penyebab timbulnya suatu kemiskinan yang merajalela. Kemiskinan mendesak masyarakat untuk tetap bertahan hidup di tengah-tengah posisi yang sangat sulit dengan cara apa-pun, inilah salah satu faktor penyebab timbulnya kejahatan dimana-mana. Sedangkan mengenai efektifitas suatu perundang-undangan ditentukan oleh : a. Pengetahuan tentang subtansi perundang-undangan itu sendiri. b. Cara untuk memperoleh pengetahuan tsb. c. Institusi yang terkait dengan ruang-lingkup perundang-undangan di dalam masyarakat. d. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan. Jadi suatu aturan hukum dapat memengaruhi fenomena dalam masyarakat, yakni seperti adanya ancaman sanksi atas kesalahan yang dilakukan, sehingga dapat mencegah suatu tindakan bahkan mendorong terjadinya suatu tindakan pula. Dengan begitu memunculkan terbentuknya suatu peraturan untuk ditaati, jika subtansinya sesuai dengan norma hukum dalam masyarakat. Karena efektiitas hukum itu sendiri dikaji dengan ketaatannya terhadap suatu norma hukum.

Munasabah al-Qur'an

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang sebagai umat islam yang berpedoman pada Al-Qur‟an haruslah mengerti tentang isi kandungan di dalam Al-Qur‟an. Karena dengan mempelajari isi kandungannya kita akan memahami dan mengetahui hukum-hukum dan juga syari‟at islam. Dalam mempelajari Al-Qur‟an ada sebuah ilmu yang namanya Ilmu munasabah. Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang keserasian makna, kesesuaian/ korelasi antara ayat yang satu dengan ayat yang lain di dalam Al-Qur‟an. Karena itu Ilmu Munasabah sangatlah penting untuk memperdalam pengetahuan kita tentang isi kandungan Al-Qur‟an. Dengan mempelajari Ilmu Munasabah kita dapat mengetahui keindahan sastra yang ada di dalam Al-Qur‟an. sehingga niscaya juga akan memperkuat iman kita terhadap Allah SWT. B. Rumusan Masalah 1. Pengertian Munasabah. 2. Latar Belakang Lahirnya Ilmu Munasabah. 3. Macam-macam Munasabah. 4. Faedah Ilmu Munasabah. C. Tujuan 1. Mengetahui Pengertian Munasabah. 2. Mengetahui Latar Belakang Munculnya Ilmu Munasabah. 3. Mengetahui Macam-macam Munasabah. 4. Mengetahui Faedah Dari Ilmu Munasabah. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Munassabah 1. Menurut Al-Zarkasyi:1 Munasabah adalah suatu hal yang menghubungkan dan mengaitkan antara dua kata maupun kalimat, baik secara nalar, indrawi dan imajinasi maupun secara global dan terperinci yang termasuk dalam cakupan bentuk-bentuk hubungan. 2. Menurut Ibn Al-Arabi.2 Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Qur‟an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung. 3. Menurut Manna‟ Al-Qaththan : Munasabah (korelasi) dalam pengertian bahasa berarti kedekatan.4 Yang sdimaksud dengan munasabah disini ialah segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau antara satu surah dengan surah yang lain.Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar makna, mukjizat Qur‟an secara retorik, kejelasan keteranganya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya. “Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci, diturunkan dari sisi Allah yang Mahabijaksana dan Mahatahu.” (Q.S. Hud: 1). Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat itu bukanlah hal yang tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufasir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Qur‟an, rahasia retorika, dan segi keterangannya mandiri. Apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu bahasa arab, maka korelasi tersebut dapat diterima. B. Latar Belakang Munculnya Ilmu Munasbah Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (munasabah) ini berawal dari kenyataan bahwa bahwa sistematika Al-Qur‟an sebagaimana terdapat dalam Mushaf „Utsmani sekarang tidak berdasarkan fakta kronologis turunya Al-Qur‟an. Itulah sebab terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama‟ salaf tentang urutan surat di dalam Al-Qur‟an. Pendapat pertama bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan kedua berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal dan Al-Bara‟ah yang dipandang bersifat ijtihadi. Pendapat pertama didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakar dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani, dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris. Pendapat ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama‟ salaf yang urutan suratnya bervariasi. Ada yang menyusunya berdasarkan kronologis turunya, seperti Mushaf Ali yang dimulai dengan ayat iqra‟, sedangkan ayat lainya disusun berdasarkan tempat turunya Makki kemudian Madani. Adapun Mushaf Ibnu Mas‟ud dimulai dengan surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisa‟, lalu surat Ali Imran. Atas dasar perbedaan peendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah korelasi Al-Qur‟an kurang mendapat perhatian dari para ulama‟ yang menekuni Ulum Al-Qur‟an. Ulama‟ yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut As-Suyuthi, adalah Syaikh Abu Bakar An-Naisaburi, kemudian diikuti oleh ulama‟ ahli tafsir, seperti Abu Ja‟far bin Jubair dalam kitabnya Tartib As-Suwar Al-Qur‟an. Syaikh Burhanuddin Al-Baqa‟i dengan bukunya Nazhm Ad-Durarfi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, dan As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar At-Tartib Al-Qur‟an.10 C. Macam-macam Munasabah Menurut Jalaludin As-Suyuthi terdapat tujuh macam munasabah yaitu:11 1. munasabah antara surat dengan surat sebelumnya. 2. munasabah antara nama surat dengan kandungannya. 3. munasabah antara bagian satu surat. 4. munasabah antara ayat yang berdampingan. 5. munasabah antara suatu kelompok ayat di sampingnya. 6. munasabah anatar fashilah dengan isi ayat. 7. munasabah antara penutup satu surat dengan awal surat berikutnya. Menurut Manna‟ Khalil Al-Qattan: Setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dalam arti hubungan yang menyatukan, seperti perbandingan atau perimbangan antara sifat orang mukmin dengan sifat orang musyrik, antara ancaman dengan janji untuk mereka, penyebutan ayat-ayat rahmat sesudah ayat-ayat azab, ayat-ayat berisi anjuran sesudah ayat-ayat berisi ancaman, ayat-ayat tauhid dan kemahasucian Tuhan sesudah ayat-ayat tentang alam…dst. 1) Terkadang munasabah itu terletak pada perhatianya terhadap keadaan lawan bicara, seperti firman Allah:14 “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan ?”(Q.S. Al-Gasiyah: 17-20). Penggambaran antara unta, langit dan gunung-gunung ini karena memperhatikan adat dan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, dimana kehidupan mereka bergantung pada unta sehingga mereka amat memperhatikannya. Namun keadaan demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali bila ada air yang dapat menumbuhkan rumput di tempat gembalaan dan minum unta. Keadaan ini terjadi jika hujan turun. Dan inilah yang menjadi sebab kenapa wajah mereka selalu menengadah ke langit. Kemudian mereka juga memerlukan tempat untuk berlindung, dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik daripada gunung-gunung. Mereka memerlukan rerumputan dan air, sehingga meninggalkan suatu daerah dan turun di daerah yang lain, dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat gembala yang subur. Maka apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat di atas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang senantiasa tidak lepas dari benak mereka.16 2) Terkadang munasabah itu terjadi antara satu surah dengan surah yang lain, misalnya pembukaan surah Al-An‟am dengan Al-Hamdu. “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.” (Q.S. Al-An‟am: 1). Ini sesuai dengan penutup surat Al-ma‟idah yang menerangkan keputusan di antara para hamba berikut balasanya: “Jika engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba engkau, dan jika engkau mengampuni mereka, sesungguhnya engkaulah yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana…” (Q.S. Al-Ma‟idah: 118-120). Hal ini seperti difirmankan Allah: “Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Az-Zumar: 75). Demikian pula pembukaan surah Al-Hadid yang dibuka dengan tasbih:19 Pembukaan tersebut sesuai dengan akhir surah Al-Waqi‟ah yang memerintahkan bertasbih: Begitu juga hubungan antara surah Li ilafi Quraisy dengan surah Al-Fil. Ini karena kebinsaan “tentara gajah” mengakibatkan orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas, sehingga Al-Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surah ini termasuk hubungan sebab akibat seperti dalam firman Allah: “Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga Firaun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.” (Q.S. Al-Qasas: 8). 3) Munasabah terjadi pula antara awal surah dengan akhir surah. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah Qasas. Surah ini dimulai dengan menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya, kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Allah mengisahkan doa Musa: “Musa berkata: Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.” (Q.S. Al-Qasas: 17). Kemudian surah ini diakhiri dengan menghibur Rasul kita Muhammad bahwa ia akan keluar dari mekah dan dianjikan akan kembali ke mekah serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang yang kafir:24 “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (untuk melaksanakan hukum-hukum) Qur‟an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (yaitu kota mekah). Katakanlah: Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata. Dan kamu tidak pernah mengharap agar Qur‟an diturunkan kepadamu, akan tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat besar dari Tuhanmu, oleh sebab itu janganlah sekali-kali menjadi penolong orang bagi orang kafir.” (Q.S.Al-Qasas: 85-86). Macam-macam Sifat Munasabah: 1. Persesuaian yang nyata (Dzzahirul Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas, yaitu yang persambungan atau persesuaian antara bagian Al-Qur‟an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surah Al-isra‟:25 “Maha Suci Allah, yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” Ayat tersebut menerangkan isra‟ Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya, ayat 2 surah Al-Isra‟ tersebut juga berbunyi: “Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi bani Israel.” Ayat tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa. Persesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi/Rasul tersebut. 2. Persambungan yang tidak jelas (khafiyyul Irtibath) atau samarnya persesuaian antara bagian Al-Qur‟an dengan bagian yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk keduanya. Contohnya seperti hubungan antara ayat 189 surah Al-Baqarah dengan ayat 190 surah Al-Baqarah. Ayat 189 surah Al-baqarah berbunyi: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan tsabit. Katakanlah, bulan tsabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” Ayat tersebut menerangkan bulan sabit/ tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji. Sedang ayat 190 surah Al-baqarah berbunyi: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas.” Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut tidak ada hubunganya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surah Al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 surah Al-Baqarah menerangkan : sebenarnya, waktu haji itu umat islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji. Ditinjau dari segi materinya, maka Munasabah itu ada dua macam:27 1) Munasabah Antar Ayat. yaitu munasabah atau persambungan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Munasabah ini bisa berbentuk persambungan-persambungan, di antaranya: a. Diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surah Ali-Imran: “dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Faedah dari munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua hal yang sama (An-Nadziraini). Ayat 102 surah Ali-Imran menyuruh bertakwa dan ayat 103 surah Ali-Imran menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah, dua hal yang sama. b. Tidak diathafkannya ayat yang satu kepada yang lain, seperti munsabah antara ayat 11 surah Ali-Imran: “(Keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir‟aun dan orag-orang yang sebelumnya, mereka mendustakan ayat-ayat kami.” “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka pun tidak menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itulah bahan bakar api neraka.” Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat kesebelas dengan ayat sebelumnya ayat kesepuluh, sehingga ayat 11 surat Ali-imran dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surah Ali-imran. 2) Munasabah Antar surah. Yaitu munasabah atau persambungan antara surah yang satu dengan yang lainnya. Misalnya seperti awalan dari surah Al-An‟am yang berbunyi: “segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi” Awalan surah Al-An‟am tersebut sesuai dengan akhiran surah Al-Maidah yang berbunyi: “kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.” kedua ayat tersebut terdapat persesuain antara permulaan surah dengan penutup surah sebelumnya. D. Faedah Ilmu Munasabah Faedah mempelajari Ilmu Munasabah ini banyak sekali, antara lain, sebagai berikut:28 1. Mengetahui persambungan antara bagian Al-Qur‟an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur‟an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya. 2. Dengan Ilmu Munasabah itu, dapat diketahui mutu dan kebalaghahan bahasa Al-Qur‟an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain, serta persesuaian ayat/ surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa Al-qur‟an itu benar-benar wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW. 3. Dengan Ilmu Munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, setelah diketahui hubungan sesuatu kalimat/ sesuatu ayat dengan kalimat/ ayat yang lain, sehingga mempermudah pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya. 4. Dapat mengetahui/ memahami kondisi dan situasi yang merupakan latar belakang sesuatu peristiwa. BAB III PENUTUP Kesimpulan Dari paparan singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat keserasian (korelasi) antara satu bagian dengan bagian yang lain. Ilmu ini sepenuhnya bersifat ijtihady, bukan tauqify. Ada macam-macam munasabah yang terdapat dalam Al-Qur‟an dimana masing-masing mufasir saling berbeda dalam memberikan jumlah macam-macam munasabah, ini karena perbedaan pemahaman dan penafsiran serta sudut pandang yang berbeda pula terhadap korelasi ayat-ayat di dalam Al-Qur‟an. Maka tidak bisa dipungkiri jika banyak sekali versi tentang macam-macam munasabah Al-Qur-an. Dengan Ilmu Munasabah kita dapat mengetahui keindahan dan tingginya sastra yang ada di dalam Al-Qur‟an, sehingga kita yakin bahwa Al-Qur‟an adalah benar-benar wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, dan bukan buatan Nabi. Fazlurahman mengatakan: Apabila seseorang ingin memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Qur‟an, maka ia harus dipahami secara utuh dan terkait, Al-Qur‟an akan kehilangan relevansinya untuk masa sekarang dan masa datang. Sehingga Al-Qur‟an tidak dapat menyajikan dan memenuhi kebutuhan manusia.30 Pesan Manna Al-Qattan : Orang yang membaca secara cermat kitab-kitab tafsir tentu akan menemukan berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut.32 30 Fazlurahman, Major Times Of The Al-Qur’an, tth. 31 Manna’ Al-Qaththan, mabahits fi ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadits, ttp, 1973, hlm.99. 32 Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an/; diterjemahkan dari bahasa arab oleh Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, hlm.143. DAFTAR PUSTAKA Manna‟ Al-Qaththan, 1973, mabahits fi ulum Al-Qur‟an, Mansyurat Al-„Ashr Al-Hadits, ttp. Jalaludin As-Suyuthi, tth, Al-itqan fi Ulum Al-Qur‟an, Beirut: Dar Al-Fikr. Jalaludin As-Suyuthi, tth, Asrar Tartib Al-Qur‟an, Kairo: Dar Al-I‟tisham. Djalal, Abdul, 2012, Ulumul Qur‟an, Surabaya: Dunia Ilmu. Al-Qattan, Manna‟ Khalil, 2007, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an/ Manna Khalil Al-Qattan; diterjemahkan dari bahasa arab oleh Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa. Hamzah, Muchotob, 2003, Studi Al-Qur‟an Komprehensif, Yogyakarta: Gama Media. Anwar, Rosihon, 2008 Ulum Al-Qur‟an, Bandung: Pustaka Setia Bandung. Abdullah, Mawardi, 2011, Ulumul Qur‟an, Yogyakarta: pustaka Pelajar. Fazlurahman, tth, Major Times Of The Al-Qur‟an, ttp.

Kamis, 28 Juni 2012

Qawa'id Fiqhiyah

BAB I QAIDAH FIQH A. PENGERTIAN Qawaid al-Fiqhiyah berasal dari rangkaian lafadz Qawa'id dan Fiqhiyah. Al-Qawa'id merupakan bentuk jama' dari kata qaidah (kaidah). Secara etimologi, arti qaidah adalah al-asas, yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya). Seperti yang digunakan di dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 124 dan surat an-Nahl ayat 26 : وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Baqarah :127) قَدْ مَكَرَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَأَتَى اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِدِ فَخَرَّ عَلَيْهِمُ السَّقْفُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَأَتَاهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لا يَشْعُرُونَ "Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah Mengadakan makar, Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari."(QS.an-Nahl : 26) B.SEJARAH ILMU QAIDAH FIQHIYAH. Sejarah perkembangan qaidah fiqh dibagi menjadi 3 fase : 1. Fase Pertama Fase kemunculan dan berdirinya qaidah fiqh, dimulai dari zaman Rasulullah hingga akhir abad III H./IX M. Jika qaidah fiqh didefinisikan sebagai suatu ketentuan hukum yang dapat mencakup masalah furu', maka hadis yang dapat dikategorikan sebagai qaidah fiqih, seperti : مَااَسْكَرَكَثِيْرْهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ "sesuatu yang banyaknya memabikan, maka yang sedikitnya juga haram" 2. Fase Kedua (Masa Perkembangan dan Pembukuan Qaidah Fiqih) Pada masa Turki Utsmani atau abad 13 H./19 H. Pada masa ini kitab fiqih sangat banyak. Masing-masing madzhab memiliki kitab pegangan tertentu. Keadaan ini menyebabkan para ulama' tidak melakukan ijtihad mutlak. Mereka lebih tertarik untuk membuat kaidah-kaidah ushul; atau menulis ushul fiqh, termasuk merumuskan qaidah fiqh. Pada masa ini para fuqaha' mulai menyusun fiqih dalam bentuk baru; kini tulisan mereka terangkum dalam tema-tema semisal Al-Qawaid wa Ad-Dawabith, Al-Furuq, Al-Asbah wa An-Nazhair. Penulisan qaidah fiqh pada masa ini dimulai oleh Al-Karakhi dan Ad-Dabusi dari kalangan ulama' Hanafiyah. Umumnya para ulama' menulis qaidah fiqih dengan cara mengutip dan menghimpun qaidah-qaidah yang terdapat pada kitab fiqih masing-masing madzhab. Selain itu, mereka pun melakukannya dengan jalan mencantumkan qaidah-qaidah fiqih dalam kitab fiqih, yaitu mencari illat dan men-tahrij suatu pendapat,seperti contoh : اِنَّ ا لمَقْدُوْرَعَلَيْهِ لَايَسْقُطُ بِالْمَعْجُوْزُعَنْهُ "Sesuatu yang bisa dilakukan tidak bisa gugur karena ada yang tidak dapat dilakukan." اَلْمَيْسُوْرُلَايَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ "Sesuatu yang mudah dilakukan tidak gugur dengan adanya yang sulit dilakukan "3. Fase Ketiga (Fase Kemajuan dan Sistematisasi Qaidah Fiqih) Dimulai dengan lahirnya Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah di masa Turki Usmani. Pada dasarnya kompilasi ini merupakan hasil paraa usaha para ulama' Turki di zaman Sultan 'Abd Al-Aziz Khan Al-Utsmani, yang ditetapkan pada 26 Sya'ban 1292 H./28 September 1875 M. Kitab tersebut disusun dengan bahasa perundang-undangan, namun tidak semua pasal berupa qaidah fiqih, tetapi terdapat pula qaidah ushul. Di antara qaidah ushul adalah : 1. Pasal 12 اَلْاَصْلُ فِي اَلْكَلاَمِ اَلْحَقِيْقَةُ "Ashal suatu perktaan adalah makna hakikat. " 2. Pasal 13 لاَ اِبْرَةَ لِلدِّلَالَةِ فِي مُقَابَلَةِ التَّصْرِيْحِ "Petunjuk lafazh tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna ekplisit. " 3. Pasal 14 لاَ مَسَاغَ لِلإِجْتِهَادِ فِي مُوْرِدِ النَّصِ "Tidak denarkan berijtihad ketika ada nash (qath'i)." C.DASAR PENGAMNBILAN QAIDAH FIQHIYAH. Maksudnya adalah sumber-sumber perumusan kaidah-kaidah fiqhiyah, yaitu meliputi dasar formil dan materialnya formil. Dasar formil maksudnya adalah dasar-dasar yang digunakan para ulama' dalam perumusan qaidah fiqhiyah. اَلْأُمُوْرْبِمَقَاصِدِهَا " setiap perkara tergantung maksud yang mengerjakan." Sedangkan dasar kedua adalah berupa dasar material yaitu dari qaidah fiqhiyah itu dirumuskan. Apakah semata-mata merupakan hasil pemikiran dari para lama' atau mengambil dari ayat atau sunnah kemudian diformulasikan dengan kata-kata yang berbeda. لَاضَرَرَوَلَاضِرَارَ "tidak boleh membuat kemadlaratn dan tidak boleh membalas dengan kemadlaratan." (HR. Ibnu Majah dan ad-Daruquthny). Kaidah ini berasal dari Nash Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwatha', dari Amr bin Yahya dari Ayahnya. Walaupun tergolonh hadits mursal, tetapi hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan ad-Daruquthni dari Abu Sa'id al-Khudry. Lafadzny ajuga ditahrij oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan 'Ubadah bin Ash-Shamid. Begitu juga qaidah ini merupakan pokok dalam Syari'ah Islamiyah, dimana pun setiap fuqaha' yang akan mengistinbathkan suatu hukum harus berpegang pada kaidah ini, karena ia merupakan dasar untuk menghilangkan kerusakan dan menarik kemaslahatan D.PROSES PEMBENTUKAN QAIDAH FIQIH Keterangan : 1. sumber hukum islam: Al-qur'an dan Al- Hadis. 2. ushul fiqh sebagai metodologi dalam istinbath al-ahkam. 3. fiqih yang memiliki banyak materi. 4. kumpulan dari masalah-masalah yang serupa sehingga disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fiqih, kemudian dikritisi kembali. 5. dianggap telah sempurna ketika sesuai dengan ayat Al-Qur'an dan Hadis. 6. digunakan untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat. Dengan demikian prosesmulai bermunculan kitab-kitab qaidah-qaidah fiqiih diberbagai madzhab di dalam Islam. Olek karena itu fiqih tumbuh lebih dahulu daripada qaidah-qaidah fiqih, maka sering kita temukan kaidah-kaidah itu ada di dalam kitab fiqih ulama' tersebut. Misalnya, Ibnu Qayyim al-Jaiziyah murid dari Ibnu Taimiyah dalam kitab fiqihnya "I'lam l-Muwaqi'in'an Rabb al-'Alamin", memunculkan qaidah : تَغَيَّرُالفَتْوَى وَاخْتِلَافُهَابِحَسْبِ تَغَيُّرِ الأَزْمِنَةِ وَالأَمْكِنَةِ وَالْأَحْوَالِ وَالنِّيَاتِ وَالْعَوَائِدِِ "Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat, keadaan,niat, dan adat kebiasaan." E. KITAB-KITAB QAIDAH FIQIH 1. Kitab-kitab qaidah fiqih Mazhab Hanafi o Ushul al-Kharqi (260-340) lebih dikenal dengan Abu Hasan al-Kharqi memuat 37 qaidah. o Ta'sis al-Nazhr, karangan Abu Zahid al-Dabusi (w.430 H), 86 qaidah. o Al-Asybah wa al-Nazhai, karangan Ibnu Nuzaimh (w.970 H), 25 qaidah. o Majami al-Haqaiq, karangan Abi said al-Khadimi, memuat154 qaidah o Majalah al-Ahkam al-Adliyah,disusun ulama' terkemuka Turki yang diketuai Ahmad Udat Basya, memuat 99 qaidah fiqih dibidan mu'amalah dengan 1851 pasal, dll. 2. Kitab-kitab qaidah fiqih Mazhab Maliki o Al-Qawaid, karangan Al-Qurafi (w.758 H), kurang dari 100 qaidah. o Al-Furuq, karangan al-Qurafi (w.684 H), memuat tidak kurang dari 548 qaidah o Idhah al-Masalik ila Qawa'id al-Imam Malik, karangan al-Winsyarisi (w. 914 H) mengandung 118 qaidah, dll. 3. Kitab-kitab qaidah fiqih Mazhab al-Syafi'i. o Qawa'id al-Ahkam fi Masyalih al-Anam,karangan Izzudin bin Abd Salam (577-660 H). o Al-Asyibah wa al-Nazhair(w.716 H), karangan Ibnu al-Wakil. o Zhair, karangan Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawaid al-Mazhab, karangan Abu Sa'id al-Ala'I (w.761 H). o Al-Asyibah wa al-Nazhair, karangan Imam al-Syuyuthi (w.911 H). o Al-Asyibah wa al-Nazhair, karangan Taj al-Din Ibnu al-Subki (w.771 H), dll. 4. Kitab-kitab qaidah fiqih Mazhab Hanbali. o Al-Qawaid al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, karangan IbnuYaimiyah (661-728 H). o Al-Qawaid al-Fiqhiyah, karangan Ibnu Qadhi al-Jabal (w.771 H) o Al-Qawaid al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah, karangan IbnuAbd al-Hadi (w.909 H) o Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, karangan Ibnu Rajab al-Rahman bin Syihab bin Ahmad bin Abi Ahmad Rajab, memuat 160 qaidah. F.Kaidah Fiqih Yang Bersifat Induk Kaidah fiqih yang bersifat induk ada lima, diantaranya yaitu : 1. Kaidah Pertama Kaidah ini menjelaskan tentang segala sesuatu itu tergantung pada niat, baik berwuud pekataan baik perbuatan. *) أْلأمُوْرُبِمَقَصِدِهَا “Segala sesuatu (perbuatan) tergantung pada tujuannya” Yang menjadi dasar dari kaidah ini ialah firman-firman Allah dan hadits-hadits Nabi, diantaranya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.(Al Bayinah:5) اِنَّمَاالْاَعْمَالُ بِالنِّيِّاتِ وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى . (اخرجه الخمةعنه عمرابن الخطاب) “Sesungguhnya segala amal hanyalah menurut niatnya, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang diniatkannya”. ex : ketika ada saudara kita yang meninggal mengcapkan “innalillahi wainnailaihi roji’un”. Imam Ahmad sependapat dengan Imam Syafi’i, bahwa hadits niat termasuk menjadi tempat kembalinya seluruh hukum-hukum agama, salah satunya : مَنْ اَحْدَثَ فِيْ اَمْرِنَاهَذَامَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَرَدٌّ . (متفق عليه) “Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan agamaku ini dengan sesuatu yang tidak berasal/beradasar dari agama, maka tertolak”. Adapun pengertian dari kaidah diatas ialah bahwa setiap amal perbuatan, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dengan sesama makhluk, nilainya ditentukan oleh niat serta tujuan dilakukannya. Niat, disamping sebagai alat penilai perbuatan, juga dapat merupakan ibadah tersendiri seperti yang dapat dipahami dari hadits Nabi : نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرًمِنْ عَمَلِهِ . (رواه الطبرانى عن سهلبن سعد) “Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya (tanpa niat)”. 2. Kaidah Kedua Kaidah ini menjelaskan tentang keyakinan dan keraguan. *) الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّكِّ “Yang sudah diyakini tidak dapat dihapus oleh keraguan-keraguan”. Dasar pengambilan kaidah : إِّذَاوَجَدَاَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْأًفَأَشْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَئٌ اَمْ لَافَلَايَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِحَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًااَوْيَجِدَريْحًا .(رواه مسلم عنه ابى هريرة) “apabila seseorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan bau (memperoleh bukti tentang telah batalnya wudlu)”. اِذَا شَكَّ اَحَدُكُمْ فِى صَلَاتِهِ فَلَمْ يّدْرِكَمْ صَلَّى أَثَلَاثًااَمْ اَربَعًافَلْيَطْرَحِ الشَّك وَلْيَبْنِ علَى مَااسْتَيْقَنَ .(رواه الترمذى عنه عبدالرحمه) “Apabila seseorang dari pada kamu ragu-ragu didalam shalatnya, tidak tahu sudah berapa raka’at yang telah dikerjakan tiga raka’atkah atau empat raka’at, maka buangkan keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang meyakinkan”. Jadi maksud kaidah diatas ialah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan tidak dapat digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang meragukan itu meningkat menjadi meyakinkan. Jadi semua tindakan harus berlandaskan pada yang diyakini. ex : Orang yang telah wudlu, kemudian datang keraguan apakah ia telah berhadats, maka dalam hal ini ditetapkan hukum yang telah diyakini, yakni masih ada wudlu dan belum berhadats. 3. Kaidah Ketiga Kaidah ini menjelaskan tentang kesulitan dan kemud`han. (* اْلمَشَقّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ . “Kesukaran itu menarik adanya kemudahan” Dasar kaidah Firman Allah :. "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."(Al-Baqoroh:185). Hadits Nabi : اَلَّدِيْنَ يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ اِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ . (احرجه البخاري عنه أبى هريرة) “Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”. Adapun sebab-sebab keringanan didalam ibadah dan lain-lain adalah : 1) Bepergian, dalam bepergian boleh meng-qoshor dan menjama’ sholat, boleh tidak berpuasa. 2) Sakit, dalam keadaan sakit orang boleh sembahyang dengan duduk atau berbaring, tayamum sbagai ganti berwudlu, tidak berpuasa dan sebagainya. 3) Terpaksa, dalam hal terpaksa orang boleh memakan makanan yang haram, bahkan boleh mengucapkan kata-kata kekafiran atau berbuat perbuatan yang mengkafirkan. "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)."(Al Nahl:106) 4) Lupa, orang bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa ramadhan, atau salam sebelum selesai shalat, kemudian berbicara secara sengaja karena ia menyangka shalatnya sudah selasai, maka tida batal shalatnya. وَضَعَ عَنْ اُمَّتِى اْلخَطَأُوَالْنِسْيَانُ وَمَااسْتُكْرِهُوَاعَلَيْهِ . (اخرجه البيهقى عنه ابن عمر) “Diangkat dari umatku (dosa) karena salah, lupa dan karena terpaksa”. 5) Bodoh, seperti berbicara didalam/ditengah shalat karena tidak mengerti, maka shalatnya tidak batal. 6) Kekurangan, kekurangan adalah salah satu dari kesulitan, karena setiap oran mesti senang pada kesempurnaan. Dan kekurangan menyebabkan keringanan . 7) Kesulitan dan ‘ummul balwa,seperti shalat dengan najis yang sulit dihindari Macam-macam hukum Rukhshah : 1) Rukhshah yang wajib dikerjakan. Contoh : memakan bangkai (hewan yang tidak disembelih menurut syaa’) bagi orang ang sedang terpaksa, sebab bila tidak akan membahayakan keselamatan jiwanya. 2) Rukhshah yang sunnah dikerjakan Contoh : megqoshor shalat dalam bepergian, tidak berpuasa lantaran di dalam bepergian dan melihat wanita yang akan dinikahi. 3) Rukhshah yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan Contoh : transaksi jual beli dengan sistem salam (membayar dulu, barang baru dikirim kemudian sesuai dengan perjanjian). 4) Rukhshah yang lebih baik ditinggalkan Contoh : menjama’ shalat berlaku bagi yang tidak mengalami kesulitan. Tayammum bagi orang yang mendapatkan air karena membeli dengan harga mahal sekalipun mampu membelinya). 5) Rukhshah yang makruh dikerjakan Contoh : mengqoshor shalat dalam jarak temph kurang dari tiga marhalah (kurang lebih 85 km) اِذَاضَاقَ الْاَمْرُاِتَّسَعَ . “Apabila sesuatu yang sempit, maka hukumnya menjadi luas”. 4. Kaidah Keempat Kaidah ini menjelaskan tentang eleminasi kesulitan. (*الضّرَرُ يُزَالُ “Kemadlorotan itu harus dihilangkan”. Arti dari kaidah ini menunjukkan bahwa kemadlorotan itu telah terjadi dan akan terjadi. Apabila demikian halnya wajib untuk dihilangkan. Dasar dari kaidah ini ialah Firman Allah dan Hadits Nabi : وَلَا تُفْسِدُوا فِى الْارْضِ “Dan janganlah kamu sekalian membuat kerusakan dibumi”. اِنَّ اللهَ لَايُحِبُّ المُفْسِدِينَ “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan”. Masalah-masalah hukum fiqih yang tercakup dalam kaidah ini : 1) Di dalam muamalat, mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat diperbolehkan. 2) Pada bagian jinayat, agama menentukan hukuman qishos, hudud, kafarat, mengganti kerusakan, mengangkat para penguasa untuk menumpas pengacau/pemberontak dan menindak para pelaku kriminalitas dan lain-lain. 3) Pada bagian munakahat, islam membolehkan perceraian yaitu di dalam situasi dan kondisi kehidupan rumah tangga yang sudah tidak teratasi. Demikian pula diizinkan fasakh karena aib dan sebagainya. Dasar dari kaidah ini ialah Firman Allah : “tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al Baqoroh:173) Jadi dari kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa dalam keadaan (sangat) terpaksa, maka orang diizinkan melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan menimbulkan suatu kemadlorotan pada dirinya. Contoh : Orang yang sedang mengalami kelaparan. Makanan yang ada hanya bangkai saja. Bangka ini baginya halal dimakan. Di dalam kondisi yang sama karena kahausan orang boleh minum minuman keras, sebab yang ada hanya minuman keras itu saja. Dalam hubunganya dengan kaidah ini, bahwa kebutuhan seseorang itu ada 5 tingkat, yaitu : 1) Tingkat darurat, tidak boleh tidak, seperti orang yang sudah sangat lapar, dia tidak boleh tidak harus memakan apa yang dapat dimakan. Sebab kalau tidak, dia akan mati aau hampir mati. 2) Tngkat hajat, seperti orang yang lapar. Dia harus makan, sebab kalau tidak makan dia akan payah, walaupun tidak membahayakan hidupnya. 3) Tingkat manfaat, seperti kebutuhan makan yang bergizi dan memberikan kekuatan, sehingga dapat hidup wajar. 4) Tingkat zinah, untuk keindahan dan kemewahan hidup, seperti makanan yang lezat, pakaian yang indah, perhiasan dan sebagainya. 5) Tingkat fudlul, berlebih-lebihan, misalnya banyak makan makanan yang syubhat atau haram dan sebagainya. 5. Kaidah Kelima Kaidah ini menjelaskan tentang adat. (* الْعَادَةُ مُحْكَمَةٌ “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”. Dasar kaidahnya adalah hadits mauquf : مَارَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًافَهُوَعِنْدَاللهِ حَسَنٌ (احرجه أحمد عنه ابى مسعود) “Apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka baik pula disisi Allah”. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa dasar kaidah diatas adalah Firman Allah : "suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh".(Al-A’raf: 199) Setelah kaidah dan ayat-ayat dan hadits diatas yang menjadi dasar kaidah, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang ta’rif dari Al-’Adaah dan Al-‘Urf serta hubungannya dengan hadits. Menurut Al-Jurjany : الْعَادَةُ مَا اسْتَمَرَّالنَّاسُ عَلَيْهِ عَلَى حُكْمِ الْمَعْقُوْلِ وَعَادُوااِلَيْهِ مَرَّةً بَعْدَ اُخْرِى “Al-Adaah ialah sesuatau (perbuatan/perkataan)yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulangi terus menerus”. الْعُرْفُ مَااسْتَقَرَّتِ النُّفُوسُ عَلَيْهِ بِسَهَادَةِ اْلعُقُوْلِ وَتَلَقَّتْهُ الطَّبَاِئعُ بِالْعُقُوْلِ.وَهُوَحُجَّةٌ اَيْضًالَكِنَّهُث اَسْرَعُ اِلَى اْلفَهْمِ بَعْدَ اُخْرَى “Al-‘Urf ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang jiwa meras tenang dalam mengerjakannya, karena sejalan dengan akal (sehat) dan diterima oleh tabiat (yang sejahtera)”. Menurut Abdul Wahab Kholaf : “Al-‘Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari : perkataan, pebuatan atau (sesuatu) yang ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan Al-Adaah”. Dan dalam bahasa ahli syara’ tidak ada perbedaan antara Al-‘Urf dengan Al-Adaah. Di antara perbuatan yang hukumnya oleh Rasulallah SAW ditetapkan berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan hadits : “ketika Nabi SAW datang di madinah, merka (penduduk Madinah) telah (biasa) memberi uang panjar(uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun”. “maka nabi bersabda: barangsiapa memberi uang panjar pada buah-buahan, maka berikan uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangkan yang tertentu dan waktu yang tertentu”. Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’ dalam muamalat seperti dalam jual beli dan sebagainya, adalh merupakan suatu hukum. Seandainya sehingga terjadi perselisihan pendapat, maka penyelesaiaanya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau ‘Urf yang berlaku. Demikian juga dalam munakahah seperti tentang banyakya mahar atau nafkah, harus dikembalikan kepada adat yang berlaku. Sedangkan adat kebiasaan yang berlawanan dengan nash syara’ atau bertentangan dengan jiwanya, tentu tidak boleh dianggap/dijadikan dasar hukum. Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha’ mengatakan : كُلُّ مَا وَرَدَبِهِ الشَّرْعِ مُطْلَقًاوَلَآضَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَلَافِى اللّغَةَ يُرْجَعُ فِيْهِ اِلَى الْعُرْفِ “semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahsa, maka dikembalkan kepada ‘Urf”. DAFTAR PUSTAKA Mujid, Abdul. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih. Jakarta: Kalam Mulia, 2001. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiikih, Jakarta : Kencana, 2010 Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV Pustaka Setia, 2010. Musbikin, Imam. Qawa'id al-Fiqhiyah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.