Jumat, 01 November 2013

Perbandingan Pemikiran Teologi Tentang Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan

Perbandingan Pemikiran Teologi Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan dan Aplikasinya dalam Kehidupan SYARI'AT (Hukum Islam) 1. Perbandingan pemikiran teologi tentang kehendak mutlak Kaum Mu'tazilah dan Asy'ariyah berbeda pendapat tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak tuhan tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya, sedangkan kaum Asytensi lai'ariyah berpendapat bahwa bahwa tuhan tetap berkuasa dan berkehendak mutlak. Dalam menjelasan kemutlakan kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan ini, Al-Asy'ari menulis dalam Al-Abanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun , diatas tuhan tidak ada sesuatu dzat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat tuhan. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuannya bukanlah dzat nya. Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai pencipta alam,tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada. Ia adalah eksistensi / dzat yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensinya. Ia difahami sebagai eksistensi yang esa dan unik , inilah makna umum yang dianut aliran-aliran kalam dalam memahami tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaannya. Seperti kata Al-Dawani, Tuhan adalah Maha Pemilik (Al-Malik) yang bersifat absolut dan dapat berbuat apa saja yang diehendakinya dan tidak seorang pun yang dapat mencela perbuatannya. Dalam hubungan ini al-Baghdadibahwa boleh saja tuhan melarang apa yang telah diperintahkan-Nya dan memerintahkan apa yang telth dilarang-Nya, lebih tegasnya Ia menulis “Tuhan adil dalam segala perbuatanya, tidak ada satu larangan pun bagi Allah, Ia buat apa sajayang dikehendakinya, Seluruh makhluk-makhlyknya adalah diatas segala perintah , dan Ia tidak bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatannya kepada siapapun.” Al-Ghazali juga mengeluarkan pendapat yang sama. Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya, dapat memberikan hukum menurut kehendaknya, dapat menyiksa yang berbuat baik jika itu memang kehendaknya. Kemutlakan kekuasaan dan kehendak tuhan yang digambarkan diatas dapat pula dilihat darei paham kaum Asy’ariyah Tuhan dapat meletakkan beban yang tak terpikul pada diri manusia , dan dari keterangan As’ariyah sendiri, bahwa sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, maka berdusta mestilah baik buruk. Berbeda pendapat dengan kaum Mu’tazilah, mereka berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi, Seperti terkandung dalam uraian nadir, kekuasaan mutlak Mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Seperti ayat Al-Qor’an sendiri mengatakan يلا تبد الله لسنۃ تجد ولن Bahwa kaum Mu’tazilah menganut paham bahwa tiap-tiap benda mempunyai natur atau hukum alam sendiri. 2. Pebandingan pemikiran teologi tentang keadilan Tuhan dan aplikasinya dalam kehidupan. Paham keadilan Tuhan banyak tergantung pada paham kebebasan manusia. Kaum Mu’tazilah berteologi pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia, mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Dalam paham Mu’tazilah semua makhluk lainnya diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Mereka berpendapat bahwa manusia yang berakal sempurnasetiap berbuat sesuatu pasti mempunyai tujuan, manusia yang demikian berbuat untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk kepentingan orang lain.Tuhan juga mempunyai tujuan dalam perbuatannya namun karena Tuhan maha suci dari sifat untuk berbuat demi kepentingan diri sendiri, perbuatan-perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan mawjud lain, selain Tuhan. Berlandaskan pemikiran ini kaum Mu’tazilah berkeyakinan bahwa, sebagai makhluk tetinggi dan oleh karena itu mereka mempunyai kecenderungan untuk melihat segala-galanya dari sudut kepenting manusia lainnya. Kaum Mu’tazilah berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan a hambanya tanpa mengiringitidak mungkin ntuk berbuat dzalim dengan memaksakan kehendak kepada hambanya kemudian mengharuskan hambanya untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian, mnusia mempunyai kebebasan untuk melakukan apa saja tanpa ada paksaan sedikitpun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah manusia dapat bertanggung jawab dari perbuatan yang dilakukannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hambanya tanpa mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu. Ayat-ayat l-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah :             “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.”(QS.Yasiin:54) •              “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.(QS.Al-Fushshilat:46) •              •   “Sesungguhnya Allah tidak Menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.”(QS.An-Nisa’:40) NB : Maksudnya: Allah tidak akan mengurangi pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan walaupun sebesar zarrah, bahkan kalau Dia berbuat baik pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kaum Mu’tazilah berteologi “Perbuatan Tuhan tidaklah bertujuan untuk kepentingan dirinya sendiri melainkan untuk kepentingan semua makhluknya.” Pengetahuan maupun kebaikan serta keuntungan-keuntungan itu tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian mereka mempunyai tendensi untuk meninjau wujud dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dalam hal ini kaum Maturidiyah golongan Bukhara mempunyai sikapyang sama dengan kaum Asy’ariyah menurut Al-Bazdawi, tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini, Tuhan berbuatan apa saja sesuai kehendaknya. Sedangkan Maturidiyah yang bergolongan Samarkand, dalam hal ini mereka mempunyai posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah daripada kaum Asy’ariyah. Berdasarkan atas fendebsi Mu’tazilah yang dijelaskan diatas, soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandang manusia, Bagi mereka sebagai diterangkan oleh Abdul Jabbar, keadialan erat hubungannya dengan hak, dan keadilaan diartikan dengan memberi seseorang akan haknya. Kata-kata “Tuhan adil”, mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat berbuat yang buruk, bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak dapat berbuat dzalim dalam memberikan hukuman, tidak dapat menghukum orang yang musyrik lantaran dosa orang tuanya. Tuhan tidak dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul oleh hanbanya, dan selalu memberika balasan bagi hamba yang patuh terhadapnya serta memberi hukuman terhadap yang menentang perintahnya. Menurut al-Nazzam dan pemuka-pemuka Mu’tazilah lainnya , t idak dapat dikatakan bahwa Tuhan berdaya untuk bersifat dzalim , berdusta, dan untuk tidak berbuat apa yang terbaik bagi manusia. Jelas kiranya, bahwa paham keadilan bagi kaum Mu’tazilah mengandung arti kewajiban yang harus dihormati. Keadilan bukanlah hanya berarti memberi upah kepada yang berbuatbaik dan memberi hukuman kepada yang berbuat salah . Paham “Tuhan berkewajiban membuat apa yang terbaik bagi manusia ” saja mengandung arti luas sekali, seperti tidak memberi beban yang terlalu berat bagi manusia. Adanya Nabi dan Rasul-rasul juga memberikan manusia daya untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagaimana semua ini merupakan kewajiban Tuhan terhadap manusia. Keadilan menghendaki supaya Tuhan melaksanakan kewajiban-kewajiban itu, demikian kaum Mu’tazilah. Kaum Asy’ariyah membemberikan interpretasi yang berlainan sekali dengan interpretasi Mu’tazilah diatas. Sesuai dengan tendensi mereka untuk meninjau segala-galanya dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan mereka diartikan “Menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kesekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik.” Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat barbuat sesuai kehendak-Nya dalam kerajaan-Nya. Ketidakadilan sebaliknya berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang. Oleh karena itu , Tuhan dalam paham kaum Asy’ariyah dapat berbuat apa saja sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, sungaguhpun hal sedemikian itu, menurut pandangan manusia adalah tidak adil. Asy’ariyah sendiri berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam surga. Perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum. Dengan demikian Tuhan tidak bisa dikatakan bersifat tidak adil. Al-Ghazali mengeluarkan pendapat yang sama. Ketidakadilan dapat timbul jika hanya seseorang melanggar hak orang lain dan jika seseorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan kemudian melanggar perintah itu, perbuatan yang demikian tidak mungkin ada pada Tuhan. Oleh karena itu,Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dengan makhluk-Nya. Al-Asy’ariyah memang berpendapat bahwa Tuhan dapat menyakiti anak-anak kecil dihari kiamat, dapat menjatuhkan hukuman bagi orang-orang yang mukmin bahkan bisa memasukkan orang yang kafir ke dalam surga. Sekiranya ini dilakukan oleh Tuhan. Tuhan tidaklah berbuat salah, namun tetap bersifat adil. Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan hukuman dan itu merupakan bentuk dari keadilan Tuhan semata. Tuhan tidak berkewajiban memberikan pahala, seperti kata Al-Ghazali “Tuhan memberikan upah kepada manusia jika itu pula dikehendaki-Nya”, sungguh demikian Tuhan tetaplah adiL dalam segala hal. Sebagaimana ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran oleh aliran Asy’ariyah untuk mempercepat pendapatnya •    “Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS.Al-Buruj :16)         •    ••     “ dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?”(QS.Yunus:99) Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya. Demikian pendapat kaum Asy’ariyah tentang keadilan yang bertentabgan dengan faham yang dibawa oleh kaum Mu’tazilah.